Dua hari sudah tapak kakiku menjejak tanah pulau Jawa. Raga dan jiwaku disergap semrawutnya pulau paling padat di Hindia Belanda ini. Berbagai rupa manusia, warna kulit, juga bahasa dari penjuru belahan dunia tumplek blek, bercampur awut-awutan. Kepalaku sampai pening menyaksikannya pertama kali. Dan Surabaya menjadi kota pertama memulai urusanku. Bukan aku memilih mencecah di sini, melainkan catatan paman Rudolf penunjuknya.
“Juffrouw, kopi pesanannya,” ucap seorang perempuan pelayan hotel Juweeltje, tempatku mencicipi kehidupan mewah orang Eropa di Jawa. Aku terkaget sewaktu melihat megah nan luasnya wujud hotel Juweeltje.
Katanya tidak sembarang orang bahkan bagi orang Eropa sekalipun, sanggup merasai tempat kelas atas di Surabaya ini. Hanya orang gila berhamburan uang saja yang sanggup. Pejabat Eropa bergaji pas-pasan sampai mati hanya bisa bermimpi, ujar seorang laki-laki Eropa yang sempat kutemui di trem. Ia terheran-heran saat melihatku turun dari trem lantas berjalan santai menuju hotel ini.
Dari perbincangan dengan seorang tamu tadi malam aku baru tahu kalau hotel ini rupanya berada di kawasan elit Heerenstraat. Di kepung gedung-gedung mewah perusahaan dagang, kantor Karesidenan, termasuk rumah singgah pejabat pusat.