Dahlia Merah di Penghujung Abad

tuhu
Chapter #18

4

Menjelang siang Lammert sudah duduk manis di lobi hotel Juweeltje. Ia sedang berbincang dengan Mevrouw Anke Niehof. Lammert senyam-senyum melihat kedatanganku.

Mevrouw Anke Niehof memuji gaun abu-abu awan yang kupakai. Ia berbisik menggoda, “Juffrouw Viona sungguh perempuan beruntung, bisa memikat hati Mijnheer Lammert. Berbahagialah dengannya.” Aku hanya membalas dengan senyum yang kubuat seceria mungkin.

Langit Surabaya hari ini pekat kelabu. Awan-awan bergumpal berarak lambat mengiringi perjalanan kami. Dengan kereta kuda milik Lammert, kami berdua melewati jembatan Merah, menembus hiruk pikuk pasar Pabean, menuju timur sungai Kalimas.

Sepanjang jalan aku rasai denyut nadi kehidupan perdagangan Surabaya. Toko-toko kelontong berjejalan sepanjang jalan, gerobak-gerobak ditarik tubuh-tubuh kurus. Panas matahari memanggang kulit para perempuan memanggul barang dagangan.   

Di sebuah pabrik kain, bertuliskan Welvaart Indische, kami berhenti. Bau debu apek menyengat, menyambut kedatangan kami berdua. Lammert mengatakan sepanjang kawasan ini banyak berdiri pabrik kain. Resident Surabaya menghendaki menjadi pusat pengolahan kain.

“Pabrik Welvaart Indische punya kualitas kain terbaik dibanding pabrik lain. Harganya tak akan membuat Viona menjerit,” terang Lammert, sambil menggandengku melawati halaman pabrik.

Di depan pintu utama pabrik, seorang laki-laki pribumi berpakaian serba putih bergegas menyambut kedatangan kami. “Antarkan kami ke Gerben,” pinta Lammert. Aku berbisik padanya, siapa Gerben. Lammert menjawab kalau ia salah satu pimpinan pabrik. “Ayah dan kakeknya yang membangun pabrik ini.”

Sepanjang menjejak lorong pabrik, aku menyaksikan buruh-buruh paruh baya perempuan laki-laki, berpeluh letih bercucuran keringat. Para mandor berpakaian serta bertopi serba putih, berkeliling mengawasi kerja buruh-buruh. Berjalan petentang-petenteng. Sesekali kudengar memarahi buruh yang lambat kerjanya.

Di ruang tunggu seorang laki-laki bernama Gerben menyambut kedatangan kami. Wajahnya tergagap takut. Terlebih saat melihat Lammert, memucat seketika. Lammert memperkenalkanku pada si pucat Gerben.

Lihat selengkapnya