Suatu sore, Lammert mengajakku ke sebuah pesta di rumah mewah milik tuan tanah kaya raya, Prono Dipuro. Di sana aku berjumpa Babah Ho juga para penjudi di kedai Verspillen. Melihat kehadiranku Babah Ho meledak kegirangannya. “Viona cantik. Ratu judi kita.”
Giliran Babah Ho mengenalkanku pada Prono Dipuro. Laki-laki bertubuh tambun itu terkaget saat tahu namaku Viona. Sungguh aku tak percaya seorang perempuan muda sepertimu sanggup mengalahkan Mijnheer Lammert dan Babah Ho berjudi. Bahkan hampir membuat bangkrut Mijnheer Reinier, puji Prono Dipuro.
“Tuan Prono ini juragan kuda di Surabaya Viona,” terang Lammert.
“Juffrouw suka berkuda?” tanya Prono Dipuro.
“Sejak kecil mamaku sudah mengajariku berkuda, walau bukan kuda milik kami.”
Prono Dipuro lantas mengajakku ke belakang rumah mewahnya. Memamerkan besarnya kandang kuda miliknya. Saking besarnya mungkin bisa menampung buruh-buruh di pabriknya Gerben. Ia menunjukkan seekor kuda hitam kecoklatan, besar dan kekar seperti raksasa. Kata Prono Dipuro, kuda itu ia beli dari pemilik perkebunan tembakau di Karesidenan Kedu.
“Dari dulu aku sangat ingin menaiki kuda itu,” seru Lammert seraya memandang kagum kuda raksasa itu. Pengakuan dari Lammert kalau berkunjung ke rumah Prono Dipuro ia sering menjenguk si kuda raksasa.
“Tuan Prono Dipuro tak mau menjual kuda itu?” tanyaku. Prodo Dipuro tertawa terkekeh mendengarnya. Begitu pun Lammert dan Babah Ho. Bukanya menjawab ia malah memintaku bertanya pada Lammert. Dengan menahan tawa Lammert pun berucap.