Pagi masih sangat buta untuk Xiu Mei terbangun dari lelap tidurnya. Sekujur tubuhnya remuk lantaran kerja lembur. Sekedar menguap pun rasanya ngilu. Matanya bengkak memerah. Ia berjalan terhuyung dari kamar sempitnya, menuju dapur rumah makan. Puluhan piring dan gelas kotor menggunung bertumpuk-tumpuk tak karuan.
Seremuk apa pun tubuhnya Xiu Mei harus bergegas mencucinya sebelum para juru masak datang. Namun bukan lantaran mereka Xiu Mei merasa cemas. Kedatangan istri Babah Ho di pagi buta lah yang selalu jadi momok menakutkan baginya. Suara lengking galaknya membuat telinga Xiu Mei tertusuk sakit.
Syaraf kulitnya perih membeku begitu tersentuh air dingin. Kedua tangan lemahnya satu persatu mengambil, mencuci, dan membilas piring. Desah nafasnya naik turun seirama gerak tangannya. Udara dingin subuh merayapi tubuhnya.
Di tengah mencuci tiba-tiba air matanya merembes deras, keluar dari sudut matanya. Tersedu lirih tertahan. Butir-butir air matanya kembali mengingatkan pada surat yang baru kemarin sore Xiu Mei terima.