Langit kelabu tiba-tiba tersibak pergi menjauh. Gumpalan-gumpalan awan memudar, berganti bentang biru cerahnya langit. Cahaya senja pagi terasa hangat membelai lembut wajahku. Kusesap semerbak segarnya udara pepohonan di taman kota. Sejuk menentramkan raga jiwaku.
Kubuka surat kabar baru kubeli pagi ini. Kulirik tajuk berita halaman muka. Judul berita pembuka membuatku tersenyum manis. Bertahun-tahun sudah aku menunggu berita ini. Enam setengah tahun lebih memendam penantian pedihku.
JUDI BERDARAH. Begitu judul berita utama, tercetak dengan huruf kapital besar. Terselip kalimat membuatku tergelitik girang. Ada taburan bunga Dahlia Merah di antara genangan darah.
Kulipat surat kabar ini, kumasukkan dalam tas sebagai kenang-kenangan. Aku beranjak menghampiri kuda raksasa. Ia semakin gagah mempesona. Sorot matanya menatap lekat.
“Ayo kita berangkat ke pemakaman, jangan sampai terlambat. Aku ingin melihat pemakaman si pembunuh Hella.” Dengan gaun hitam aku menuju makam orang-orang Eropa di daerah Peneleh.
Seperti semut rang-rang hitam, orang-orang berpakaian hitam mengerumuni sebuah makam. Aku berdiri agak jauh, di bawah pohon mangga yang daun-daunnya sudah kuning mengering.