Di dalam manisnya tebu tersimpan gumpalan darah dan kepedihan.
Karesidenan Surakarta, Hindia Belanda, 1895.
Puluhan kaki telanjang menjejak perih kerikil batu muntahan gunung Merapi. Terasa tajam dan panas. Hamburan terik matahari mendidihkan tanah coklat kemerahan. Membuat kaki-kaki hitam telanjang gosong terpanggang.
Tapak demi tapak, langkah demi langkah. Kaki-kaki itu sedikit pun tak ambil pusing. Menghiraukan perih terkelupasnya kulit menghitam.
Sudah sebelas kilometer kaki-kaki letih berdebu itu berjalan. Kini sudah sampai distrik Jogolanan. Saat melewati pabrik gula Gondang Winangun, bergabunglah kaki-kaki lain. Berjalan berjubel keluar dari pabrik menuju ke timur.
Sambung menyambung tiada putus habisnya. Melewati perkebunan tebu, hamparan hijaunya padi, berseminya tanaman tembakau. Semakin membiak ratusan kaki telanjang.
Sesekali mereka menjeda langkah lelah. Sekedar membasahi dahaga. Menyapa kaki-kaki lain yang sedang bercocok padi atau membabati palawija.
Akhirnya perjalanan panjang mereka berakhir di depan kantor Asisten Residen afdeling Klaten.
Mendidihnya langit biru siang itu tak sebanding membaranya amarah kaki-kaki petani, buruh tani, buruh perkebunan, buruh pabrik gula. Kedatangan jauh mereka hendak bertemu Asisten Residen. Teriakan, ratapan, harapan bergumpal menggemuruh menjadi satu.
Sedangkan di dalam kantor, otak Zentgraaff belum reda pusing panasnya lantaran sedari pagi buta memeriksa tumpukan berkas-berkas lama.