Dahlia Merah di Penghujung Abad

tuhu
Chapter #28

1

Hembusan angin sejuk berdenyar dari sela pepohonan rindang merimbun. Menyeruak menembus sudut-sudut ruang di pendopo Karesidenan Surakarta. Kicau burung sahut menyahut merdu tanpa lelah.

Frykenberg hampir terlelap dalam mimpi lantaran saking tentram dan damai suasana di pendopo, andai saja Swartz yang duduk di sampingnya tidak berbisik padanya. Ia memberitahukan seorang laki-laki berpakaian pegawai Karesidenan berjalan menghampiri mereka berdua. Dengan suara lembut penuh kesantunan ditambah senyum, ia mengatakan kalau Tuan Residen, Jonquiere, serta K.P.H. Cokronegoro sudah menunggu.

Frykenberg dan Swartz sumringah cerah mendengarnya. Mereka berdua beranjak gegas mengikuti pegawai Karesidenan itu.

Di ruang pertemuan mereka berdua disambut para pejabat Karesidenan serta para Asisten Residen dari Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali.

Frykenberg dan Swartz semakin bersemangat lantaran Harso Suwarso, datang tepat waktu. Senyum Frykenberg semakin melebar cerah.

“Apakah pertemuan sudah bisa kita mulai?” tanya Jonquiere. Ia melayangkan pandangannya ke para tamu rapat. Swartz mengatakan kalau Minjheer Zentgraaff belum datang. Jonquiere nampak geram. Padahal salah satu agenda pertemuan hari ini untuk membicarakan urusannya, gerutu K.P.H. Cokronegoro.

Belum sempat Harso Suwarso hendak memberi penjelasan, pintu ruangan diketuk. Zentgraaff masuk dengan wajah merah berpeluh. Kedua tangannya tak kuasa menenteng bundelan berkas-berkas. Ia tak peduli dirinya menjadi pusat tatapan mata geram para pejabat Karesidenan. Dasar pejabat tak tahu diri, cela Frykenberg dalam hati.

Resident Jonquiere terpaksa membuka kembali pertemuan. Pembahasan pertama menyangkut keadaan pasar terutama pasokan padi, nila, tembakau, dan gula di afdeling Klaten, afdeling Boyolali, dan afdeling Sukoharjo. Apakah lebih memuaskan dari laporan akhir tahun kemarin? Tanya Jonquiere.

Saat perwakilan ke tiga afdeling itu hendak berucap, tiba-tiba Zentgraaff memotong. Membuat peserta rapat semakin memerah hidung dan telinganya.

“Mohon maaf Mijnheer Jonquiere, laporan pasar bisa kita kesampingkan nanti. Ada perkara lebih penting dan mendesak. Kita seharusnya membahas nasib petani, buruh perkebunan, dan buruh pabrik gula,” terang Zentgraaff. Ia lantas menyodorkan dua berkas ke hadapan Jonquiere dan K.P.H. Cokronegoro.

Walaupun kejengkelan mereka berdua bertumpuk-tumpuk oleh sikap lancang tak sopan pejabat muda itu, mereka berdua terpaksa membukanya.

Lihat selengkapnya