Kusesap erat butir-butir embun pagi. Kubekap sedalam-dalamnya di dasar rongga jiwaku. Kuhembuskan lambat-lambat. Menikmati setiap bulir kesejukan pagi. Kubuka mataku, hamparan padi hijau menguning menyesak di kedua mataku. Gunung Merapi dan Merbabu angkuh menjulang, dihias gumpalan awan serta membirunya langit.
Cahaya senja pagi mulai menyembul. Kulitku menghangat seketika tatkala menyentuh sinar yang masih muda.
Sungguh pemandangan penuh pesona. Mungkin hanya tercipta di tanah Jawa. Sampai merinding tubuhku meresapi keindahan semesta pagi ini. Semua pemandangan ini tak pernah aku saksikan di tanah kelahiranku.
Inikah rasa takjub dirasakan paman Willem sewaktu menjejakkan jiwanya di Jawa? Kata mama, paman Willem tak bosan-bosannya berkisah tentang indah permai tanah Jawa sewaktu ia menjadi kepala sekolah di Semarang. Ia pernah melontarkan keinginannya hendak hidup di Jawa sampai akhir hayat.
Dari kejauhan aku melihat petani berjalan berduyun melewati pematang sawah. Seorang petani perempuan menjinjing bekal. Di belakangnya dua anak laki-laki kurus bertelanjang dada berjalan berjingkat mengikutinya. Tak hanya petani turut serta menghidupi gerak semesta pagi. Mataku pun tertuju gerombolan kerbau-kerbau berjalan malas lamban.
Usai puas menikmati tetesan surga, aku berjalan menghampiri kuda milikku. Ia tengah menikmati rerumputan hijau di bawah pohon mangga. Sejak jadi milikku ia kubawa ke mana pun. Menjejaki setiap jengkal tanah di Jawa.
Melihatku menghampirinya ia menoleh menatapku.
Aku lekas kembali ke penginapan. Sepanjang jalan aku berpapasan dengan petani juga penggembala. Mereka mematung terbengong melihatku berjalan lambat menaiki kuda raksasa.