Cahaya senja menembus melewati celah sempit jendela, hinggap di pipiku. Kurasakan kehangatan menjalari tubuhku. Membuatku sedikit menggeliat.
Sisa kantuk seperti masih tertempel di pelupuk mata. Kubuka kedua mata perlahan. Mengangkat kepala dan leher rasanya berat sekali.
Tidak jauh dari tempatku tidur seorang perempuan terduduk memandangiku. Wajahnya masih ada sisa-sisa sendu yang belum pudar.
“Syukurlah Juffrouw sudah bangun,” ucapnya lirih. Aku hanya mengangguk lemah. “Saya sudah membuatkan teh untuk Juffrouw.” Aku menengok ke sebuah meja, ada tiga gelas teh masih mengepul, jagung, dan ubi rebus.
Dengan malas aku ambil satu gelas, kusesap teh panas. Agak kemanisan untuk ukuran lidahku. Aku pandangi sekeliling ruangan, terasa berbeda dari tempat penginapanku yang tak jauh dari sini.
Perlahan aku tersadar kalau tempat ini seperti gudang, namun sudah disulap rapi. Tadi malam aku terpaksa meminta Nyai Wondo untuk kugunakan tempat ini sementara.
“Terimakasih sudah membuatkan teh, Lastri,” ucapku. Ia tersenyum malu. Dua anakmu masih tidur? Tanyaku. Mereka masih tertidur lelap, balasnya sambil melihat ke arah dua anak perempuan kembar. “Yvonne? Apa dia sudah sehat?”
“Sudah mendingan Juffrouw. Pagi tadi saya buatkan ramuan jamu untuk membantu memulihkan luka-lukanya,” terang Lastri. Aku lantas menoleh ke pojok, agak remang. Tiga orang berselimut tebal terbujur di ranjang besar. Sesekali aku bisa melihat anak Lastri menggeliat. Aku berdiri hendak tahu keadaan Yvonne. Terakhir kulihat tubuhnya mengenaskan, penuh lumpur, darah, dan luka.
Kini tangan, lengan, dan kaki Yvonne sudah diperban, pakaiannya diganti, rupanya Lastri sangat telaten mengurusnya. Dari Lastri aku sedikit tahu kejadian yang menimpa mereka semalam.
“Juffrouw, terimakasih atas pertolonganmu tadi malam. Kalau bukan karenamu tak tahu lagi nasib kami seperti apa. Bisa jadi kami sudah mati.”
Aku memegang erat tangan Lastri. “Aku hanya kebetulan lewat Lastri,” jawabku. Aku beranjak meninggalkan mereka. Nanti aku akan kembali lagi, semoga saudaramu ini sudah siuman, ucapku.
Aku berjalan ke penginapan, Nyai Wondo menyemburku, mengoceh tak ada surutnya lantaran aku membawa mereka ke penginapan. Siapa mau membayar uang sewa mereka? Kebutuhan makan mereka? Kupingku gatel berdesing mendengar ocehannya.