“Meneer Swartz, syukurlah Meneer datang,” seru Sarwo. Kegembiraannya membuncah-buncah sewaktu menyambut Swartz dan pasukannya yang sudah tiba di pabrik penggilingan beras milik Sarwo. Sudah lama laki-laki tua berperut buncit itu menanti penuh harap.
Bak juru selamat, Swartz dan sepuluh pasukannya disambut dan dipersilahkan singgah di rumah mewah samping pabrik penggilingan beras. Hidangan mewah melimpah ruah sudah terhampar untuk para juru selamat kaum priyayi kaya itu.
Swartz dan pasukannya sampai melongo ngiler. Terlebih saat dua perempuan muda datang membawa botol anggur dan banyak bungkusan rokok.
“Jadi benar pabrik penggilingan berasmu tadi malam didatangi para Kecu?” tanya Swartz sambil menyesap gurihnya rokok, mencomot buah pisang raja. Sarwo mengangguk cepat.
“Benar sekali Meneer. Tengah malam ada empat orang berkuda, berjubah hitam datang ke sini. Penjaga pabrik melihat mereka mengelilingi gudang pengilingan.” Sarwo lantas menceritakan lebih rinci ulah para Kecu, termasuk kecemasannya kehilangan harta bendanya.
Apa para Kecu sudah menjarah? Merusak atau mencuri barang di pabrik? Tanya seorang pasukan berkumis lebat, sedari tadi serius memperhatikan cerita priyayi kaya itu. Sarwo menggeleng. Mungkin mereka sedang mengintai. Mempersiapkan perampokan seperti kejadian yang sudah-sudah, ujar Swartz.
Kedua mata Swartz memandang sekilas kehidupan pabrik penggilingan beras. Pabrik itu cukup besar di desa ini. Nampak para buruh laki-laki, perempuan, serta buruh tua, wira-wiri memikul beras. Peluh keringat membasahi sekujur tubuh mereka yang gosong dipanggang terik matahari. Lelah letih memikul beban tertempel kuat di antara keriput wajah para buruh.
Saat Swartz melihat seorang buruh tua kelelahan, ia teringat perkataan Zentgraaff ketika mereka bertengkar hebat di pendopo Karesidenan.