Malam merangkak semakin larut. Gelap dan dingin bercampur membaur. Sunyinya malam membelai dua pasang insan dimabuk asmara. Sampai mereka lalai kedatangan para tamu tak diundang. Mereka berjalan mengendap, menyusup terdengar seperti semut.
Gubraaakk.
Seketika terdengar suara pintu rumah didobrak. Mengagetkan Elma dan Swartz. Mereka berdua semakin tersentak kaget lantaran ada lima orang berjubah serba hitam menodongkan revolver di hadapan mereka berdua.
“Pasti kalian para Kecu tengik itu,” teriak Swartz, memandang lamur bayangan mereka dalam remang lampu minyak. Ia heran para Kecu bisa masuk ke rumah ini.
Kini Swartz mengkhawatirkan pasukannya. Jangan-jangan para Kecu sudah menghancurkan pasukannya. Ia mencari-cari revolver miliknya, sialnya malah tergeletak di dekat para Kecu berdiri.
Elma meringkuk di dekapan tubuh Swartz yang bersimbah keringat ketakutan setengah mati. Swartz berusaha menenangkan.
Salah seorang Kecu berjalan mendekati mereka berdua. Sekonyong-konyong ia langsung mengayunkan popor revolver hingga menghantam wajah Swartz. Ditambah tendangan keras. Membuat laki-laki itu tersungkur di lantai. Mulutnya penuh darah mengucur.
Saat Elma hendak membantu selingkuhannya, ia malah ikut mencicipi popor revolver di punggungnya. “Bawa mereka berdua keluar dari sini,” perintah salah seorang Kecu. Suaranya terdengar berat ngeri.
Elma dan Swartz meronta diseret paksa. Mereka dibekap mulutnya. Para Kecu menaikkan ke atas kuda. Gerombolan Kecu bergegas meninggalkan rumah milik Sarwo, melewati perbatasan desa, menembus persawahan, menyeberangi sungai, sampai akhirnya mereka berhenti di sebuah perkebunan tebu yang sebagian sudah dipanen.
“Kecu kurang ajar. Kubunuh kalian,” teriak Swartz. Suara marahnya mengerang hebat, bergema di antara kerisik daun tebu. Sebuah pukulan kembali mendarat di wajah Swartz. “Tolong jangan sakiti kami. Kalau mau uang atau perhiasan berapa pun akan aku berikan. Tolong jangan sakiti kami,” ratap Elma.
Seorang Kecu berjubah dekat kuda yang sedari tadi memilih diam mulai melangkah mendekati Elma dan Swarzt. Dengan satu hentakan ia menampar wajah mereka berdua. Suara tamparannya menggelegar keras.
Seorang laki-laki yang membawa revolver berbisik padanya. “Tugasku dan kawan-kawanku sudah selesai sampai di sini. Sekarang tinggal urusan Juffrouw.” Usai mengucapkan itu ia menyerahkan revolver padanya lantas memerintahkan Kecu lainnya menjauh membiarkan mereka bertiga.
Elma dan Swartz tersentak kaget melihat Kecu berjubah hitam membuka jubahnya. “Yvonne?” teriak keduanya serempak.
Mata biru Yvonne menghitam pekat. Melebur dalam gulita malam. Wajahnya dingin mengeras, lamat-lamat terlihat meski tak terlalu jelas.
“Ampuni kami Yvonne, jangan bunuh kami. Akan kukembalikan semua milikmu asalkan jangan bunuh kami,” rengek Elma, mulai terisak, bersimpuh di hadapannya. Mengembalikan milikku? Bisakah kau kembalikan Harloff yang sudah kalian rengut nyawanya, seru Yvonne. Mereka berdua saling pandang, semakin memucat wajahnya. “Tidak Yvonne, sungguh. Kematian Kakakmu itu karena kecelakaan. Bukan pembunuhan, percalah padaku,” ungkap Elma.