Dahlia Merah di Penghujung Abad

tuhu
Chapter #36

PENUTUP DI KARESIDENAN SURAKARTA

Kerumunan burung emprit terbang berkitar-kitar di atas hamparan padi yang mulai menguning. Sebentar lagi petani bersiap menyambut datangnya panen.

Sepanjang jalan menuju stasiun Delanggu, aku sempatkan memanjakan mataku menikmati kehidupan persawahan belum tentu sanggup kunikmati lagi.   

Stasiun Delanggu pagi ini sudah padat merayap. Orang-orang berdesak berjubel hendak naik kereta. Merasai hasil cipta otak manusia sebagai alat transportasi penanda kemajuan zaman.

Orang-orang mungkin tak menyangka kalau pulau Jawa bisa dijelajahi hanya dengan duduk sambil memandangi bentang alam. Zaman bergerak begitu cepatnya.

Dahulu aku berfikir hanya di Eropa saja kereta api itu ada. Keberadaannya menyeruak di antara kehidupan masyarakat modern Eropa. Memangkas putaran waktu. Mendekatkan yang jauh, mempercepat yang lambat.

Aku duduk di bangku dekat jendela, menunggu kereta berangkat ke tempat tujuanku berikutnya. Sembari menunggu aku membuka surat kabar Nieuw Vorstenlanden, yang baru kubeli dekat stasiun.

Di halaman muka mataku tertuju pada judul berita tercetak tebal. Kubaca pelan.

Telah ditemukan dua mayat. Seorang laki-laki Belanda bersama kekasih simpanannya. Di samping mayat perempuan ada sekuntum bunga Dahlia Merah.

Cukup segitu saja aku membaca sekilas isinya. Tak perlu cari tahu apa sebab kematian mereka. Kerja yang bagus Yvonne, pujiku dalam hati. Seketika tersembul senyum mengembang di wajahku.

Lantas aku beranjak ke berita di bawahnya.

Zentgraaf, pejabat Assiten Residen afdeling Klaten meracuni hingga tewas seorang bernama Frykenberg, pemilik perkebunan kaya raya. Korban sudah tak bernyawa dalam perjalanan kereta menuju stasiun Klaten. Di temukan sekuntum Dahlia Merah di dekat tempat duduk Frykenberg.

Semoga Yvonne tidak marah dan kecewa lantaran ia tak sempat menemui kakaknya untuk terakhir kalinya.

Di tengah membaca surat kabar, aku mendengar suara gaduh di gerbong kereta. Suara gaduh itu lantaran dua laki-laki Jawa berpakaian pelajar berteriak lantang sambil membawa surat kabar. “Harso Suwarso si tuan tanah kaya raya mati terbunuh. Mayatnya di temukan di sawah.” Orang-orang di gerbong mengerumuni mereka berdua. Berebut membeli surat kabar berbahasa jawa, Pawarto Tani.

Aku terkejut mendengar berita kematian Harso Suwarso. Tak kusangka Yvonne bertindak begitu jauh. Padahal perjanjian Yvonne dengan para Kecu hanya mengurus Elma dan Swartz. Namun aku sudah tak peduli lagi urusannya, bantuanku cukup mempertemukan Yvonne dengan para Kecu.

Pagi itu sewaktu Yvonne setuju rencanaku, ia kuajak menemui salah satu pimpinan Kecu ke lereng bukit di Boyolali. Mencarinya tak terlalu susah lantaran mulut Nyai Wondo sebagai petunjukknya. Yang susah saat membujuk mereka.

Tahu kami orang Belanda saja mereka sudah curiga berlebihan. Beruntung salah satu pimpinan mereka kenal Yvonne, lantaran istrinya pernah ditolong saat melahirkan.

Para Kecu sempat menolak ajakan kami. Mereka beralasan terlalu berbahaya melawan langsung Swartz beserta pasukannya. Jumlah kita tidak bayak, apalagi senjata kita tak mumpuni, keluh mereka.

Yvonne sempat mengolok-olok mereka, “Dasar pengecut.” Hampir saja dia dihajar babak belur.

Lihat selengkapnya