Bersekutu dengan kepedihan sampai darah mengental hitam.
Semarang, Hindia Belanda, Tahun 1896.
Tapak-tapak langkah kaki menjejak keluar dari pintu sekolah. Serpih tetesan hujan deras berjatuhan, menyambut celoteh anak-anak sekolah. Mereka serempak menghamburkan diri. Ada yang berjalan cepat menuju kereta kuda, ada pula berjalan berpayung bersama orang tua mereka menuju stasiun trem terdekat. Kebanyakan anak-anak memilih menikmati guyuran hujan membasahi raga, sambil bernyanyi kegirangan.
Namun masih banyak juga bertahan di sekolah. Berharap derasnya hujan segera paripurna.
Di ruang tunggu sekolah, seorang laki-laki Eropa terduduk lesu menangkupkan kedua tangan. Gurat-gurat wajahnya melukiskan kepasrahan. Sesekali ia mendesah panjang.
“Masih nunggu adikmu Jan?”
“Oh, Meneer Matthijs,” Jan tergagap, lantaran kaget. “Grietje masih mengikuti kelas paduan suara Meneer.”
Meneer Matthijs meminta izin duduk di samping Jan. Pandangan Meneer Matthijs sedikit menyelidik pada wajah Jan yang berbalut keresahan.
“Apa ada kasus berat sedang engkau liput Jan? Kau nampak gelisah tak tenang.” Suara lembut Meneer Matthijs membuat urat-urat tegang di wajah Jan mengendur pudar. Terlebih saat Jan melihat sekelebat senyum Meneer Matthijs yang sudah ia anggap sebagai sosok guru paling murah senyum di sekolah ini. Kadang senyum guru matematika itu sebagai penyembuh, mengobati resah ragunya.
“Kemarin aku meliput kasus kematian seorang pelajar pribumi. Mayatnya ditemukan di gudang kereta milik Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij. Veiligheidspolitie menduga ia dirampok lantas dibunuh. Tapi rasanya masih banyak kejanggalan menyelimuti kematiannya. Aku yakin ada sebuah perencanaan untuk membunuhnya,” terang Jan. Matanya memancar bara kemarahan. Lantas apa alasan kuat yang membuatmu begitu yakin kalau pelajar pribumi itu sengaja dibunuh? Tanya Meneer Matthijs.
Jan menghela nafas panjang, mencoba membangun rangkaian simpul kasus yang sejak kemarin memeras keras otaknya sampai lupa makan dan tidur.
Dengan suara sedikit serak lantaran batuk, Jan lantas menceritakan sosok pelajar pribumi itu. Serikat pelajar dan buruh di Semarang memanggilnya Diphanegara. Bocah paling nekad, tak kenal takut menghadapi siapa pun.
***
Entah bagaimana caranya, Diphanegara, anak kusir andong miskin itu bisa sekolah sampai tingkat Meer Uitgebreid Lager Onderwijs. Dengar-dengar Diphanegara menipu pihak sekolah. Ia mengatakan keturunan bangsawan dari Jogja.
Usai menamatkan sekolahnya, ia pergi ke Prancis belajar hukum. Kurang ajarnya, lagi-lagi ia menipu departemen pendidikan di Batavia untuk membiayai selama hidup dan sekolah di Prancis.
Selama tiga tahun ia menjelajahi setiap sudut-sudut sosial kehidupan di Prancis. Ikut aksi gerakan buruh di beberapa negara Eropa. Termasuk menyaksikan dan merasai dengan segenap jiwa raga peristiwa Bloody Sunday tahun 1887 di London.