Yudhistira sedari tadi mondar-mandir. Perasaannya kalut tak menentu. Berkali-kali pandangannya tak lepas dari jendela. Berharap orang yang ia kehendaki segera terlihat, walau sekelebat. Namun hanya pepohonan menghitam bergoyang-goyang diterpa angin terlihat di matanya, seiring malam semakin larut menggulita.
“Tenanglah, mereka pasti datang,” ucap Marto. Ia nampak kesal melihat Yudhistira mondar-mandir tak jelas. Biasanya mereka tak setelat ini, balas Yudhistira. Paling mereka terlambat lantaran banyak veiligheidspolitie berkeliaran malam-malam, tambah Chu-Jung. Ia itu terpaksa menghentikan gerak jari tangannya dari mesin ketik.
“Veiligheidspolitie itulah yang sedari tadi aku takutkan. Aku harap mereka selamat sampai sini.” Baru saja Yudhistira selesai berucap. Terdengar ketokan di pintu rumah kayu yang mereka tempati. Antara senang bercampur waspada mereka saling pandang. Kemungkinannya hanya dua, kawan mereka atau veiligheidspolitie.
Yudhistira memberanikan diri mengintip dari lubang kecil pintu sambil menahan nafas. Syukurlah rupanya mereka, seru Yudhistira bersorak lega dalam hati, saat tahu kedatangan dua kawan mereka, Roeland dan Mikhael. Perlahan ia membukakan pintu.
“Maaf kawan kami terlambat, di jalan banyak veiligheidspolitie menyamar. Kami hampir saja dibuntuti,” ujar Roeland, laki-laki Belanda berkacamata itu terengah-engah, pipinya memerah.
“Syukurlah kalian tidak apa-apa.” Yudhistira menuntun mereka berdua.
“Semua sudah berkumpul?” tanya Mikhael. Dari sudut ruang Chu-Jung menyahut, sudah. Chu-Jung dan Marto membantu membawa barang bawaan mereka berdua. Tumpukan buku dan berlembar kertas.
***
Malam semakin dingin, membuat lima orang laki-laki bergegas menuntaskan agenda mendesak dan darurat. Diselimuti remang cahaya lampu minyak, mereka mengitari meja kayu yang kaki-kakinya sudah mulai keropos dimakan rayap. Sesekali mereka terbatuk lantaran pengap dan berdebu rumah kayu itu.