Hari mulai merangkak tertatih menuju siang, namun matahari sama sekali tak nampak tegak lurus di atas petala langit. Tertutup gumpalan awan kelabu sejak pagi. Seperti tak beranjak. Pertanda pulau Jawa akan berlama-lama menyesap musim hujan.
Di antara siang bermendung, sebuah kereta kuda mendadak berhenti di halaman sekolah. Seorang guru paruh baya keluar dari kereta kuda. Ia berjalan agak tergesa.
“Tuan Harjo Wijoyo,” seru Meneer Matthijs menyambut kedatangan Harjo Wijoyo. Ia mendekap erat Harjo Wijoyo saking senangnya. “Sudah lama tak mampir ke sini.”
“Mohon maaf Meneer Matthijs kalau tahun ini belum sempat mampir ke Semarang. Murid-murid baru saya semakin banyak,” ujar Harjo Wijoyo.
Mereka berdua pun berjalan memasuki sekolah. Menuju ruang kerja Meneer Matthijs. Sebuah kopi kental pahit dihidangkan menyambut kedatangan Harjo Wijoyo. Sekali seruput, ia langsung memuji kopi buatan Meneer Matthijs paling sedap.
“Kalau tidak keberatan, aku mau mendengar cerita perkembangan di sekolah baru itu. Pasti luar biasa,” pinta Meneer Matthijs tak sabar. Harjo Wijoyo tersipu malu. Kedatangannya ke sini memang hendak berbagi kisah perjuangannya.
Sembari menyesap nikmatnya kopi hitam, Harjo Wijoyo memulai cerita bagaimana dirinya membangun sekolah rakyat untuk penduduk desa miskin di lereng gunung Merbabu. Susah duka tak luput ia kisahkan di hadapan sahabat sekaligus gurunya itu.
Meneer Matthijs sampai tak kuasa menitihkan air mata saat tahu Harjo Wijoyo sampai sakit keras lantaran dihantam badai ketika mengajar sampai di pelosok desa. Ia dirawat sampai dua minggu lamanya.
“Puji Tuhan. Kerja keras Tuan membuahkan hasil. Banyak anak-anak miskin di desa memperoleh secercah pendidikan berkat Tuan,” ungkap Meneer Matthijs. Kedua guru sekolah itu saling bertukar cerita selama setahun lebih tidak bertemu.
“Ngomong-ngomong, kabar Meneer Stephanus bagaimana? Sudah lama aku tak jumpa dengannya,” tanya Harjo Wijoyo.