Saat kubuka pintu rumah, kudapati Severine tengah bergumul, bermesraan, dengan novel, surat kabar, tumpukan kertas, dan mesin ketik. Kurasa ia begitu menikmati pekerjaannya, sampai tak sadar kehadiranku.
Lantaran pekerjaannya membutuhkan ruang besar, aku pun menyewa sebuah rumah di seberang sungai yang membelah Semarang. Nyaman, tenang, sunyi, dan asri sesuai untuk Severine merampungkan pekerjaanya.
“Mon Dieu. Mademoiselle sudah pulang, maaf aku tak tahu,” seru Severine tergopoh menyambutku. Wajahnya lelah namun masih sanggup tersenyum. Tak perlu panggil aku Mademoiselle terus. Umur kita tak jauh beda, pintaku.
Lantas kutanya apa ia sudah rampung menulis cerita pendek untuk surat kabar. Sudah Viona, aku rapikan dahulu nanti engkau bisa membacanya, ujar Severine.
Aku menyerahkan sebuah bungkusan padanya. Ia terperanjat kaget saat mengintip isinya beberapa novel yang selama ini ia dambakan. Saking senangnya didekapnya tubuhku erat sekali sampai tak sanggup bernafas.
“Aku tidur sebentar Severine. Nanti bangunkanku jam setengah tujuh malam.”
“Baik Viona.”
***
Pukul tujuh malam aku sudah duduk di kereta kuda sambil membawa berkas cerita pendek buatan Severine. Aku baru setengah membacanya, kini aku harus segera merampungkan sebelum sampai di tempat tujuanku.
Anak ini memang terlahir menjadi seorang sastrawan. Tulisannya benar-benar membuatku kagum. Ada saja ide ceritanya. Pantas saja sekali kirim langsung dimuat di surat kabar, gumunku dalam hati usai membaca tuntas cerita pendeknya.
Aku minta berhenti di sebuah warung makan reyot redup. Dari situ aku berjalan ke arah barat melewati sebuah gapura. Menyibak kebun penuh belukar.
Tak jauh dari sebuah pohon sawo aku melihat sesosok manusia berdiri berselimut kegelapan. Semakin aku melangkah maju ia semakin mendekat. Saat aku berjarak semeter dengannya, ia membuka topinya dan menyalakan lampu minyak.
“Juffrouw Viona?” Seru seorang laki-laki. Aku mengangguk mengiyakan. Syukurlah Juffrouw berkenan datang. Perkenalkan aku Yudhistira.
Laki-laki bernama Yudhistira memintaku mengikutinya. Melewati pohon-pohon, menerabas semak belukar. Sesekali aku mendengar suara burung hantu. Kami berdua berhenti di sebuah rumah gubuk hampir rubuh. Aku agak tercengang mendapati rumah seperti itu.