Jan hendak membuka pintu rumahnya, namun ia urungkan lantaran seseorang memanggil namanya. Dilihatnya seorang laki-laki Jawa setengah baya berjalan menghampirinya. Laki-laki itu menyodorkan sepucuk surat untuknya.
“Kapan datangnya surat ini Pak?”
“Tadi siang Nak,” laki-laki itu meninggalkan Jan tanpa memberikan tambahan apapun. Sebuah amplop berwana coklat polos. Hanya bertuliskan namanya tanpa tercantum nama pengirimnya.
Firasat Jan dirasuki kecemasan tak menentu. Terlebih akhir-akhir ini situasi di Semarang tak aman bagi jurnalis yang punya kedekatan dengan serikat buruh dan pelajar. Sebenarnya ia masih beruntung lolos dari penangkapan, dibanding beberapa kawannya sesama jurnalis. Sampai sekarang mereka masih ditahan dan entah kapan dibebaskan.
Jan menengok sekitar rumahnya, waspada kalau ada mata-mata berkeliaran di sekitar rumah. Saat dirasa aman ia bergegas masuk. Disobeknya ujung amplop surat itu. Isinya hanya selembar kertas buram berisi pesan singkat.
“Mijn God. Meneer Matthijs dalam bahaya,” teriak Jan saat membaca pesan singkat surat misterius itu. Ia terduduk lemas sambil memegangi meja. Tubuhnya lunglai bergetar. Kepanikan melanda seluruh pikirannya.
“Mengapa harus Meneer Matthijs? Apa salahnya sampai ada ancaman tertuju padanya?” ujar Jan sambil memukuli dinding rumah. Apa veiligheidspolitie tahu selama ini aku dekat dengan Meneer Matthijs? Aku memang diam-diam membantu kawan-kawan serikat buruh dan pelajar. Kalau memang benar, sangat beralasan Meneer Matthijs terseret dalam bahaya. Veiligheidspolitie tak pandang bulu menangkapi para pendukung serikat buruh dan pelajar.
Tidak-tidak, aku harus menyelamatkan Meneer Matthijs segera. Jangan sampai dia celaka, ungkap Jan. Ia membaca sekali lagi surat kaleng itu. Tertulis singkat berisikan ancaman. Kalau malam ini Meneer Matthijs tidak segera ditolong, nyawanya dalam bahaya. Jan pun bertekad segera menemui Meneer Matthijs.
***