Mataku perlahan terbuka lantaran telingaku mendengar suara orang memanggil namaku tepat di dekatku. Tubuhku digoncang-goncang. “Viona, bangun, sudah pagi. Ini aku bawakan sarapan.”
Suara lembut Severine malah membuatku ingin tidur lagi. Aku bangun bercampur rasa malas. Namun harus kupaksakan lantaran ada pekerjaan terakhir musti kurampungkan.
Hidungku menyesap nikmat aroma teh buatannya, masih mengepul berhamburan. Aku seruput teh perlahan. Harus aku akui teh buatan Severine lebih mantap dari buatan hotel-hotel yang pernah aku singgahi.
Masakan buatannya tak kalah lezat. Selama tinggal bersamaku ia selalu memasak makanan khas Jawa. Tidak pernah aku disodorkan makanan Eropa. Aku semakin kagum padanya.
“Ini makanan apa Severine?” tanyaku saat kulihat ia meletakkan mangkok.
“Ini bubur.”
“Kau membuat sendiri? Sepertinya selain jadi penulis kau harus mulai berfikir membuka rumah makan,” ujarku sambil mengambil bubur masih mengepul. Ia malah ketawa mendengar ucapku.
“Oh Viona. Kau terlalu berlebihan. Bubur itu aku beli di warung Mbah Citro di ujung jalan.” Ia meninggalkanku sambil tertawa cekikikan.