Di sudut kursi panjang, sebuah lorong sekolah, Harjo Wijoyo terduduk lemas. Wajahnya terasa berat sekedar untuk diangkat. Kursi panjang lorong itu bukan tempat kesukaan Harjo Wijoyo, ia tak pernah duduk di situ. Namun menjelang siang ini ia terpaksa duduk termangu sendirian. Mulutnya komat kamit entah merapalkan apa. Suaranya lirih hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Pikiran Harjo Wijoyo sedang kacau usai melihat kejadian mengerikan tepat di matanya beberapa hari lalu.
“Tuan Harjo, rupanya Tuan duduk di sini,” seru seorang laki-laki dengan bahasa Belanda. Harjo Wijoyo malas menoleh. Kepalanya terpaku kaku. Dilihatnya Meneer Daniel dan Meneer Immanuel berdiri di dekatnya.
Melihat Harjo Wijoyo memucat lesu tak menjawab, mereka berdua lekas duduk mengapitnya.
“Kau nampak pucat. Jangan-jangan sakit?” tanya Meneer Immanuel. Tangannya memegang kening Harjo Wiyono. Terasa panas menyengat. Membuat Meneer Immanuel dirasuki kecemasan. Ini kali kedua ia melihat sahabatnya itu pucat sekali. Pertama saat ia menjenguk Harjo Wijoyo sewaktu sakit keras di lereng gunung Merbabu.