Air sungai semakin mengeruh, berwarna coklat seperti lumpur diencerkan. Membawa banyak muatan, menghanyutkan segala macam yang diterjang. Hujan tercurah tiada reda, membuat air sungai meluap tak terkendali.
Rumah yang berada di bantaran sungai tak pernah lepas dari badai kecemasan kalau-kalau rumah mereka suatu saat terseret kuatnya luapan air sungai. Kejadian banjir besar tahun-tahun sebelumnya membuat penduduk sekitar sungai dilanda trauma hebat.
Di antara rumah-rumah bersebelahan sungai yang sedang meluap, Yudhistira dan Chu-Jung duduk termangu di kursi depan rumah. Mereka terdiam cukup lama. Derasnya hujan sore itu membuat mereka berdua semakin tenggelam dalam kesunyian. Sedangkan di dalam rumah, Marto terkapar, kelelahan tak berdaya di tempat tidur reyot.
Sore itu mereka bertiga kompak mengenakan pakaian serupa warnanya. Hitam kelam. Seperti senja sore perlahan semakin menghitam. “Satu persatu kawan kita pergi,” ucap Yudhistira, suaranya lemah timbul tenggelam. Tetes air mata menggenang sejak siang, kini kembali memuntah tak tertahankan. Seberat inikah perjuangan kita? Keluhnya.
“Mungkin di masa depan akan lebih berat lagi. Kita tak pernah tahu seberat apa tantangan akan kita hadapi kawan,” ujar Chu-Jung. Ia masih menatap ngerinya aliran sungai dekat markas mereka yang baru. Mereka terpaksa meninggalkan markas lama untuk menghindari dari kejaran veiligheidspolitie. “Kalaupun kita kalah hari ini, bukan berarti di masa depan tidak akan terjadi seperti ini lagi. Pasti lebih berat. Mau tak mau kita harus menjaga nyala perjuangan kita. Walau harus dengan tetes darah dan luapan ari mata.”
Yudhistira tergugah, kata Chu-Jung seperti sambaran petir. Menyambar meruntuhkan keraguannya. Di saat bersamaan ucapannya membangkitkan kembali pengharapan.
“Ya, aku sepakat denganmu,” ucap Marto, berdiri bersandar pintu. Kita harus merelakan kepergian kawan-kawan terbaik kita. Aku yakin pengorbanan mereka tidak akan sia-sia. Semoga lekas ada pengganti lebih baik, lebih nekat, dan lebih kuat mengarungi beratnya perjuangan ini.
Mereka bertiga lantas duduk berjejer di kursi panjang. Di bawah remang cahaya lampu, mereka menangkupkan kedua tangan. “Mari kita berdoa untuk kesekian kalinya bagi kawan kita, Roeland. Semoga ….”
“Woi, kawan,” terdengar teriakan dari ujung jalan sempit. Membuat mereka bertiga menunda sementara doa untuk Roeland yang telah mati. Veiligheidspolitie memberikan keterangan kalau Roeland terpaksa ditembak lantaran melawan saat hendak diamankan. Namun Yudhistira dan lainnya sangat tak mempercayai keterangan veiligheidspolitie.