“Severine, cepatlah, nanti kita terlambat,” seruku. Menunggu Severine dandan membuatku gerah. Tak lama kemudian ia muncul dengan pakaian serba hitam. “Upacara pemakamannya di gereja dekat sekolah itu ya?” tanya Severine sambil membetulkan sepatunya.
“Iya. Pernah ke sana?”
“Pernah. Sewaktu masih sekolah aku sering ke gereja itu.”
Aku mengangguk sambil membantu merapikan rambut merahnya yang sebagian belum disisir. Aku sengaja mengajak Severine ikut upacara pemakaman. Ia mau pergi dengan syarat tidak naik kuda milikku. Terpaksa aku menurutinya.
Kereta kuda yang kami naiki melaju tenang, menembus keramaian Semarang. Aku sempatkan membaca surat kabar baru aku beli pagi ini. Di halaman muka berita duka itu dimuat.
“Apa kau kenal Meneer Matthijs?” Tanyaku. Agak lama ia terdiam.
“Aku tahu sekilas Meneer Matthijs. Sewaktu aku mau lulus sekolah, ia baru satu minggu pindah ke sekolahku. Jadi aku tak terlalu mengenalnya.”
Sepanjang jalan Severine terus mengoceh tentang kenangan waktu sekolah.
Sesampainya di gereja, halamannya sudah penuh sesak orang-orang berpakaian serba hitam hendak menghadiri doa untuk Meneer Matthijs. Halaman gereja sampai ruang utama seperti berwujud lautan menghitam legam.
Tetes air mata, isak tangis, tak terbendung di antara sekian pasang mata. Wajah-wajah berselimut kesedihan, kehilangan. Langit di atas gereja masih diselimuti awan kelabu. Seakan turut merasai kepedihan.
Apakah usai pemakaman ini langit akan kembali membiru lagi? Aku sudah rindu birunya langit Jawa. Sudah teramat bosan disuguhi mendung kelabu. Hari ini untuk kesekian kali tiada sinar matahari berdenyar menghangatkan.