Sudah beberapa hari semenjak menghadiri pemakaman Meneer Matthijs, Jan tak pernah keluar rumah. Tidak melakukan apapun, selain menyambangi kasur dan kamar mandi. Makan pun hanya secuil roti. Ia seperti orang gila di rumah sendiri.
Surat-surat menumpuk di depan rumah, tak ia sentuh sama sekali. Biasanya ia paling rajin membalas surat-surat yang datang. Ruangan yang biasanya berisik oleh suara ketikan mendadak senyap. Mesin ketik di meja kerjanya teronggok tak terurus, kumal seperti dirinya.
Jan mencoba memaksakan diri untuk berdiri dari tempat tidurnya, hendak mengambil air putih. Sejak pagi mulutnya belum melumat apapun termasuk meneguk air. Kini ia merasakan kerongkongannya kering kerontang.
Saat membawa air putih dan sisa roti kemarin di kursi ruang tamunya, tak sengaja ia menginjak surat kabar terbitan beberapa hari lalu. Ia ambil surat kabar itu, diremas-remas sampai tak karuan bentuknya, terus ia lempar di pojok ruangan.
“Siapa sebenarnya orang yang membocorkan penyebab kematian Meneer Matthijs di surat kabar?” gerutu Jan. Ia menyandarkan tubuhnya, kedua tangannya memegangi kepalanya, menjambak rambutnya sendiri.
Berita kematian Meneer Matthijs di surat kabar itulah penyebab Jan menjadi gila. Lebih gila lagi, malah surat kabar tempatnya bekerja yang mencetaknya, tanpa sepengetahuannya.
Saat Jan mencari tahu di bagian redaksi, ia sempat kaget lantaran ada surat yang di alamatkan ke kantor surat kabar, berisi kronologi sebenarnya penyebab Meneer Matthijs bunuh diri. Semakin tak masuk akal lagi, pengirim amplop itu bernama Roeland. Padahal beberapa hari sebelumnya, ia baru saja mendatangi pemakaman Roeland.
“Tak mungkin dia melakukannya. Roeland sama sekali tidak ada sewaktu kejadian itu,” seru Jan. Berhari-hari ia dilanda kebimbangan mengerikan.
***