Bunyi mesin ketik sambar menyambar memenuhi ruangan yang tak terlampau luas. Sudah dua hari para penghuni rumah di pinggir sungai itu bergeliat giat, seperti bangkit dari kematian. Kertas-kertas berhamburan, dinding penuh tempelan potongan berita surat kabar. Penghuninya kini bertambah lebih dari delapan orang, dulunya hanya empat.
“Kawan-kawan kita berkumpul sebentar,” pinta Yudhistira. Ia duduk di meja tempat biasa melangsungkan rapat. Yudhistira lekas mengeluarkan berkas dari amplop yang diterimanya pagi tadi. “Sebelumnya saya harus mengucapkan terimakasih pada para anggota baru kita. Selamat sudah bergabung di serikat pusat. Tak terasa kalian sudah empat hari bergabung,” ujar Yudhistira. Keempat orang itu sebenarnya sudah terlibat dalam gerakan serikat di distrik mereka masing-masing. Kini mereka ditarik mengisi keanggotaan serikat pusat.
“Sudah datang paket dari si penulis itu?” tanya Mikhael, pandangannya tak lepas dari amplop itu. “Dia mengirimkan sepuluh naskah cerita sekaligus. Ini cukup gila,” ungkap Yudhistira mengeluarkan naskah itu.
Anggota lainnya tercengang melihat lembar demi lembar naskah itu. Tak sabar hendak membacanya.
Kini surat kabar terbitan mereka sangat diminati masyarakat. Tak hanya pelajar dan buruh saja, namun merambah ke kelas sosial lain. Semua itu lantaran mereka kerap memuat cerita pendek berbobot. Isinya menggambarkan keadaan sosial masyarakat di Semarang dan Hindia Belanda yang sebenarnya.
Yudhistira lantas membagikan satu persatu naskah itu dan meminta anggotanya meneliti setiap kata sebelum siap dicetak. Yudhistira melangkah keluar ruang. Ia hendak membaca karya sastra itu sambil menikmati pemandangan sungai yang sudah kembali normal.
“Kau tampak bersemangat sekali kawan,” ucap Chu-Jung sambil duduk di dekat Yudhistira.
“Aku jadi teringat apa yang dulu kau katakan,” balas Yudhistira.
“Apa itu?”
“Mau tak mau, kita harus berjuang lebih keras. Kita tak tahu apa yang terjadi ke depannya. Dan aku meyakini itu. Dengan bergabungnya anggota baru, kita menatap perjuangan ke depan. Membuatku selalu bersemangat.”
Chu-Jung menepuk pundak Yudhistira. Mereka berdua hampir tujuh tahun lebih bersama sejak mereka dipertemukan di sekolah. “Kita sudah melewati masa-masa sulit. Di depan bakal lebih sulit lagi perjuangan ini. Kuharap kita mampu menghadapinya,” ungkap Chu-Jung.
Mereka berdua terdiam sejenak, namun dalam benak mereka tertuju pada satu kejadian yang telah menguji perjuangan mereka.