Dahlia Merah di Penghujung Abad

tuhu
Chapter #53

16

Aku berdiri di galangan kapal, merasakan gerak kapal perlahan meninggalkan pelabuhan. Menyibak debur ombak laut Jawa. Angin mulai membelai wajahku, menghempas rambutku, juga air mataku.

Di sebuah kursi aku menyandarkan tubuhku. Terasa lemas tak berdaya merambati seluruh tubuh, pikiran, serta batinku. Aku terdiam lama memandangi langit kelabu.

Tenangnya laut Jawa cukup ampuh meredam gejolak hatiku. Sampai akhirnya aku bisa pulih kembali. Kuambil tas, sepucuk surat masih belum kubuka. Surat dari Katelijne untukku.

Aku belum sempat membacanya lantaran Severine tak mau lepas dariku. Saat kubaca isi suratnya, aku hanya menggelengkan kepala. Isi surat ini sangat singkat sekali, tertulis nama seorang beserta alamatnya. Orang itu yang nanti akan membantuku di kota tujuanku selanjutnya. Aku memasukkan kembali surat itu ke dalam tasku.

Sungguh semula aku amat kesulitan mencari jejak Katelijne di Semarang. Apalagi nama aslinya bukan Katelijne.

Perempuan Rusia itu bernama asli Lizaveta Yevpraksiya. Paman Rudolf paling tahu tentangnya. Aku hanya membaca buku catatan dan surat menyurat paman Rudolf dengannya.

 

***

 

Lizaveta terlahir di musim dingin kota Saint Petersburg, Rusia. Salah satu keluarga elit tentara kerajaan Tsar Nicholas. Anak bungsu dari dua bersaudara, kakak laki-lakinya seorang tentara kerajaan.

Sejak kecil Lizaveta digembleng ilmu perang. Bahkan menginjak dua belas tahun, ia sudah mahir memainkan senjata api, panah, dan pedang. Sering ikut berburu bersama kakak dan ayahnya. Ia tumbuh menjadi gadis mapan dan berkecukupan.

Sampai pada suatu hari, sebuah kejadian yang akan merubah seluruh jalan hidupnya.

Hari itu Lizaveta nekad pergi berburu sendiri. Ia tak mau menunggu kakaknya lantaran masih bertugas.

Saat memasuki sebuah hutan, mengendap-endah hendak menembak binatang buruannya, ia dikagetkan teriakan seorang gadis tak jauh darinya. Alangkah terkejutnya saat ia mendapati seorang perempuan sedang dikerumuni tiga laki-laki hendak diperkosa. Ia meronta, menjerit, merintih di antara gema suara tawa tiga laki-laki itu.

Dengan kedua mata kepalanya sendiri, Lizaveta melihat perempuan itu ditampar, dipukuli berkali-kali. Kemarahan bergemuruh di hati Lizaveta.

Lihat selengkapnya