Dahlia Merah di Penghujung Abad

tuhu
Chapter #57

KARESIDENAN PRIANGAN, TAHUN 1897

Teh dan kopi yang larut dalam darah dan dendam.

 Karesidenan Priangan, Hindia Belanda, 1897

 

 Dalam buta gelap malam, entah dari mana asal-usulnya, tiba-tiba gelombang bara api begitu buas menerkam sebuah rumah berdinding kayu, beralas bambu, beratap setengah genteng.

Dalam sekejap kobaran api menjilat hangus rumah-rumah di sekitarnya. Asap kelabu pekat membumbung meninggi, membaur bersama gulita malam. Panas api menusuk menyayat kulit orang-orang yang hendak mencoba menjinakkan amukan api.

Suara teriakan, raungan, serta jeritan tangisan anak-anak, orang paruh baya kelaparan, bayi-bayi belum disusui, berhamburan menyesaki jalanan. Semakin mencekam di malam membara.

Sialnya sumur-sumur warga mengering kerontang, tercekik lantaran musim kemarau tak kunjung berkesudahan. Warga desa pun bimbang, hendak memadamkan kebakaran atau mereka akan mati kehausan. Kalau dibiarkan amukan api akan meluluh lantakan rumah mereka.

Di kala kebimbangan warga memuncak, dari arah tak disangka seorang perempuan berjalan tergopoh-gopoh menjinjing dua ember berisi penuh air. Tanpa berucap ia langsung menyiram ganasnya kobaran api.

“Cepat ambil air di sumur, cepat! kalau kalian tidak ingin mati terpanggang,” teriak perempuan itu. Suaranya mengganas, menampar ketakutan warga desa. Mereka pun bergegas menuju sumur.

Lihat selengkapnya