Bandung
Dingin pagi berdenyar kuat mengantup kulit putihnya, tatkala ia keluar dari rumah. Padahal ia sudah mengenakan pakaian cukup tebal. Sambil memeluk dirinya sendiri, ia menikmati jatuhnya dedaunan kering di pekarangan rumahnya. Perempuan berambut pirang sebahu itu melangkah berjingkat, melewati jalan setapak ditumbuhi rerumputan kering.
“Zella.”
Mendengar namanya dipanggil ia bergegas menoleh ke rumah kayu kecil. Seorang perempuan Sunda berjalan kegirangan menghampirinya.
“Dewi,” seru Zella, seulas senyum menyambutnya.
“Pagi-pagi sekali berangkatnya?” tanya Dewi.
“Iya Wi, kerjaan kemarin belum selesai, harus kuselesaikan hari ini,” terang Zella.
Dewi lantas mengeluarkan bungkusan dari daun pisang yang sudah ditata rapi. Ini untuk sarapanmu, engkau pasti belum sarapan, ucap Dewi. Melihat bungkusan berisi kue, mata biru Zella berbinar cerah, berkali-kali ia berucap terimakasih pada tetangga rumahnya yang teramat baik padanya.
“Besok bisa datang ke panti asuhan kan?” tanya Dewi penuh harap.
“Pasti datang Wi,” jawab Zella antusias tanpa meragu. Dewi menghela nafas lega. Zella berpamitan hendak berangkat ke tempat kerjanya. “Salam untuk kakakmu ya,” pinta Dewi sambil melambaikan tangannya melepas kepergian Zella.
“Baiklah Dewi,” balas Zella sambil agak tertawa lirih. Engkau memang tak pernah berhenti mencintai kakakku Dewi. Seandainya waktu sanggup diulang, pasti sekarang engkau akan bahagia dengannya, ucap Zella dalam hati. Kedua kakinya melangkah cepat menembus dinginnya pagi kota Bandung.
***