Perkebunan teh, Ciwidey
Sebutir embun menetes jengah dari pucuk daun teh. Jatuh membasah kuyup di atas gumpalan tanah gembur.
Seorang gadis kecil menjejak lambat. Menyibak jalan setapak perkebunan teh. Hidung mungilnya menyesap sejuk embun pagi.
Hamparan teh nampak seperti lautan menghijau. Dinginnya pagi terhiraukan oleh kegembiraan gadis berambut pirang itu. Mata jernihnya berbinar setiap kali mencoba menggapai pucuk teh yang lebih tinggi dari dirinya.
“Mama, liat ini. Kuncup teh sudah tumbuh,” teriak gadis itu kegirangan. Mamanya masih berjalan di belakang si gadis. Perlahan ia mendekati anaknya, mengusap lembut rambut gadis itu. Sebentar lagi masa petik teh Julie, ucap mamanya. Ia lantas menggandeng tangan putrinya menapaki jalan, membelah sisa gumpalan kabut pagi.
Di sepanjang jalan mereka berdua berpapasan dengan para buruh perkebunan.
“Habis jalan pagi ya Julie?” ucap berbarengan dua perempuan paruh baya yang sedang mencabuti gulma dengan bahasa Sunda.
Julie dan mamanya menjawab dengan bahasa Sunda sebisanya. Lima tahun lebih Julie dan mamanya di Ciwidey, memaksanya membaur dengan kebiasaan dan bahasa.
Perlahan mamanya pun sanggup berucap bahasa Sunda lantaran sering membantu suaminya mengurus buruh perkebunan. Sedangkan Julie belajar bahasa Sunda langsung sama pengasuhnya.