“Viona lihat,” teriak Zella kegirangan. Aku bertepuk tangan melihat Zella akhirnya berhasil menunggangi kuda. Usahanya jatuh bangun seharian berujung memuaskan.
Sejujurnya kuda itu mudah didekati, asalkan mampu berteman dan berlemah lembut dengannya. Selama hampir satu jam aku memintanya membelai lembut kepala si kuda, agar saling berbagi perasaan.
Melihat Zella berkuda mengelilingi lapangan, aku seperti melihat diriku di masa lalu, saat Hella dan mama mengajariku berkuda pertama kali. Mereka berdua berdiri di pinggir lapangan sambil menyemangati.
Usai latihan berkuda, aku dan Zella duduk di rerumputan lapangan. Menikmati redupnya senja sore. Aku mendengar tarikan nafasnya masih turun naik terengah-engah. Peluh melengaskan wajahnya walau sudah dilap.
“Katamu, dulu kau pernah menunggangi kuda sejak kecil. Siapa yang mengajarimu? Ayahmu?” tanyaku. Zella menggeleng cepat.
Nenekku yang pertama kali mengajariku berbagai hal. Membaca buku, menulis, memasak termasuk menaiki kuda, jawabnya.
Aku terkesan dengan nenekmu. Beruntung punya nenek sepertinya, ucapku. Zella tersenyum malu. Ia lantas bercerita padaku keinginannya sejak dahulu hendak mempunyai kuda sendiri.
Kata Zella ada satu kuda sangat ia impikan. Kuda itu milik juragan teh kaya raya. Aku pernah lihat kuda itu saat di Alun-Alun setahun lalu. Kuda itu begitu gagah walau tak sebesar punyamu, ungkap Zella.
“Siapa juragan kaya raya pemilik kuda itu Zella?”
“Aduh, aku tak tahu namanya. Tapi aku sering melihatnya kalau ada balapan pacuan kuda,” terang Zella. Tiga hari lagi akan ada pacuan kuda di Bandung, digelar setiap tengah tahun dan akhir tahun. Ikutlah besok denganku ke pacuan kuda, kau pasti senang melihatnya, bujuk Zella.
Pastinya aku ikut, asalkan ada taruhan bisa kumenangkan, jawabku dalam hati.
***