Malam belum terlampau larut, Arya dan Wigati masih terjaga raga dan pikiran mereka. Suami istri itu sedang menggumuli berkas diterangi setengah redup lampu minyak.
“Apa ayahmu jadi mengizinkan kita membangun sekolah untuk anak buruh perkebunan di desa ini Arya?” Tanya istrinya.
Mendengar tanya dari istrinya, Arya menghentikan sejenak kedua jemarinya yang sibuk memeriksa lembar catatan.
Sedari tadi Arya menghitung laporan pembelian pupuk, perbaikan alat-alat rusak di gudang, mengganti roda gerobak, termasuk biaya kerugian lantaran sebagian bibit teh mereka diserang hama. Membuat isi kepalanya meledak. Padahal dua hari lagi semua catatan itu harus ia serahkan pada ayahnya.
Beberapa kali Arya mengajukan penambahan biaya pada ayahnya, namun ayahnya begitu pelit padanya.
“Maafkan aku Wigati, aku belum bisa meyakinkan ayahku soal rencana pendirian sekolah itu. Kau tahu urusan perkebunan bulan ini sudah membuat kita berdua sengsara,” ungkap Arya sambil menatap wajah masam istrinya.
Wigati tak sanggup membohongi betapa kecewa dirinya. Keinginan hendak mengajar dan membuka sekolah yang sudah sejak lama ia idamkan berujung kandas.
Perbincangan mereka tiba-tiba terusik lantaran terdengar suara riuh menggaduh di halaman rumah. Suara tapak kuda, segerombolan laki-laki berucap gaduh, serta hentakan sepatu.
Belum sempat Arya membuka pintu, ia mendengar dari balik pintu seseorang memanggil namanya. Membuat Arya dan Wigati cemas.
Saat pintu dibuka, mereka berdua mendapati empat laki-laki berseragam veiligheidspolitie Karesidenan Priangan, berdiri memasang wajah dingin di antara pekatnya malam.
Tanpa ucapan pembuka, seorang veiligheidspolitie bertubuh paling tinggi, mengatakan kalau mereka harus membawa Arya ke Politiebureau yang ada di kota Bandung.
“Apa-apaan ini? Kenapa kalian mau membawaku ke Politiebureau? Salah saya apa?” seru Arya, wajahnya memerah berang.
Dengan dinginnya veiligheidspolitie itu menyerahkan surat penangkapan. Tubuhnya gemetar membacanya begitu pun Wigati. Mereka berdua saling pandangan dalam kebingungan.