Seorang perempuan muda berjalan tergopoh menyibak lorong rumah sakit. Ia berhenti di sebuah kamar nomer empat. Saat ia masuk didapatinya Wigati sedang terjaga. Duduk termangu jenuh memandangi pepohonan dari jendela.
Luka lebam di tubuh Wigati sudah diobati, walau rasa perih masih menjalari. Saat melihat perempuan muda itu masuk, Wigati menyambut penuh harap.
“Apakah aku boleh pulang hari ini Zella?” tanya Wigati. Zella mengangguk. Kau boleh pulang hari ini, jawabnya.
Berharap Wigati senang mendengarnya, namun wajah sayu mayunya malah semakin memuram. Kepergiannya ke Bandung bukan ke rumah sakit, namun hendak menemui suaminya. Nasib buruk malah menimpanya.
Wigati masih ingat saat ia diseret dan dibuang di jalanan tak dikenali. Ia tersadar sudah terbujur di rumah sakit. Kemudian ia tahu kalau Zella menolongnya.
Beruntungnya saat itu Zella sedang memacu kuda di jalan itu. Ia bersama si pemilik kuda. Tahu Wigati sekarat di jalan, mereka berdua lantas membawa Wigati ke rumah sakit.
“Apa yang kau resahkan Wigati?” Tanya Zella, melihat sorot redup mata Wigati. Aku belum menyelesaikan urusanku di Bandung. Aku belum bisa pulang kalau urusanku belum usai, terang Wigati.