Sedari tadi Lars memegangi keningnya sambil membacai surat yang baru datang siang itu. Semilir sejuknya angin di pekarangan rumah rupanya tak sanggup menenangkan kebingungan pikirannya. Surat itu dari Van Haselling ditujukan langsung olehnya. Dengan pesan sangat rahasia.
Van Haselling mengabarkan ada seorang perempuan Belanda kaya raya hendak bergabung mengembangkan perkebunan teh di Ciwidey. Orang itu sudah bersedia dengan uang melimpah, menghendaki sesegera mungkin. Van Haselling mengiming-imingi keuntungan lebih besar. Bahkan ia sudah menyiapkan uang muka untuk Lars kalau mau menerima tawarannya.
Tawaran Van Haselling membuatnya luluh tergiur. Ia tak pernah membayangkan besaran uang akan diterima.
Seberapa pun keuntungan perkebunan teh miliknya, tidak ada apa-apanya dibanding tawaran menggiurkan Van Haselling.
Masalahnya, tempat itu sudah disepakati hendak dijadikan perkebunan kopi oleh Arhend Coenraad, Prawiragung, dan Kertaya. Usulan Van Haselling yang menghendaki tanaman teh ditolak mentah-mentah oleh mereka saat pertemuan di Bandung.
“Sudah gila Van Haselling,” seru Lars. Ia meremas remuk surat di genggamannya. “Apa dia sengaja mengajakku mengkhianati perjanjian? Kurang ajar.”
Rupanya Van Haselling masih bernafsu kuat menghendaki penanaman teh, pikir Lars. Ia memang mengakui daerah itu memang sangat cocok ditanami teh. Terlebih ditunjang akses jalan yang sudah baik untuk mengangkut muatan.
Dengan rasa dongkol bergemuruh, Lars masuk ke ruang kerjanya. Mengobrak abrik lemari tua yang dahulu milik ayahnya. Tak berselang lama di tangannya sudah tergenggam berkas masih terjaga baik dan rapi.
Sambil terduduk di lantai, Lars membuka lembar-lembar itu. Matanya bergerak mengikuti baris demi baris tulisan tangan. Lars selalu kagum dengan ayahnya, sangat rapi dalam menulis tangan. Sayangnya kemampuan ayahnya tidak diturunkan padanya melainkan Zella. Adik perempuannya itu sangat berbakat soal tulis-menulis.