“Apa sudah ingat orang yang hendak kau cari Wigati?” tanyaku, sambil duduk di sampingnya. Kami berdua sedang naik dokar. Siang ini aku dan Wigati hendak menjenguk kakak ipar Zella yang dirawat di rumah sakit. Kemarin Zella mengabari kalau ia tidak bisa mengantarku ke perkebunan teh lantaran harus menunggui kakak iparnya di rumah sakit.
“Sudah hampir tujuh tahun lebih aku tak berjumpa dirinya,” ungkap Wigati. Wajahnya penuh kepasrahan. Selama aku tak bertemu dengannya, aku tak akan sanggup membantu suamiku, terang Wigati.
Bahkan nama lengkapnya saja Wigati sudah lupa. Hanya nama sapaan masa kecil yang ia ingat.
Sesampai di rumah sakit, Wigati masih diselimuti gelisah. Melangkah pun selambat siput. Di pintu masuk rumah sakit kulihat Zella berdiri lesu. Wajahnya sama resahnya dengan Wigati.
Saat melihat kedatangan kami ia sedikit tenang meski wajah sedihnya tak sanggup ia benamkan. Menunggu siapa Zella? Tanyaku. Matanya celingak-celinguk memandangi pintu masuk rumah sakit.
“Sedari tadi aku menunggu seseorang, tapi belum juga muncul,” ucap Zella.
“Siapa?”
“Oh, dia sudah datang,” seru Zella.
Aku lantas berbalik. Kulihat seorang perempuan bernama Dewi, pengasuh panti asuhan sederhana di sebuah desa pinggiran. Aku mengenalnya saat diajak Zella datang ke panti asuhannya. Ia nampak kepayahan, nafasnya ngos-ngosan. Peluh bercucuran membasahi wajahnya.
“Maaf, aku terlam_”
Tiba-tiba saja Dewi menghentikan ucapnya. Wajahnya tegang mengeras, matanya melotot ke arah kami. Aku heran mengapa Wigati juga terdiam mematung menatap Dewi.
“Dewi?” seru Wigati. Suaranya bergetar hebat. Dewi malah menggeleng kepala, ada sebuah pemberontakan dari ujung sorot matanya saat memandang Wigati.