Rerimbunan pohon di sisi kanan jalan raya nampak subur menghijau. Kehadirannya mampu menghalau teriknya hamburan sinar matahari.
Sebuah kursi kayu panjang tersandar di bawah pohon. Biasa disinggahi pejalan kaki saat kelelahan berjalan. Namun siang ini bukan pejalan kaki atau pedagang keliling beristirahat namun dua perempuan, kakak adik, yang baru pertama kali berjumpa usai berpisah bertahun-tahun.
Dewi masih menjauh, ia duduk di tepi kursi, sedang Wigati berusaha mendekat.
“Jadi kau menikah dengan Arya,” ucap Dewi. Terdengar lirih, usai Wigati menceritakan semuanya, mulai pernikahan atas kehendak paksa keluarga besar, sampai suaminya dijemput paksa veiligheidspolitie. Wigati menyelipkan cerita bagaimana ia sampai masuk rumah sakit hanya untuk menemui suaminya.
Selama mendengar cerita adiknya, Dewi tak sanggup menyembunyikan gumpalan air mata yang berjatuhan membasahi pipi merahnya.
“Kau sudah punya anak?” Tanya Dewi. Wigati mengangguk, seorang laki-laki dan perempuan, jawabnya. Wigati menggeser duduknya supaya lebih dekat dengan kakak satu-satunya yang meninggalkan dirinya sekian lama.
“Kau tidak menanyakan keadaan bapak dan ibu?”