“Kau sudah gila? Uang sebanyak itu buat apa?” seru Van Haselling mendengar Lars yang tiba-tiba saja datang ke rumahnya minta pinjaman uang. Istriku masuk rumah sakit. Butuh biaya besar untuk menyembuhkan sakitnya, pinta Lars.
Van Haselling mendesah, menghela nafas panjang. Ia sedikit tahu kondisi keuangan Lars. Lantaran wabah hama teh, hasil perkebunan dua tahun ini sangat merugi. Kini ia diuji sakit diderita istrinya. Apalagi saat Lars mengatakan istrinya sakit parah, membuat Van Haselling terasa pilu.
Van Haselling pernah berada diposisi Lars, saat anak laki-lakinya sakit parah waktu masih tinggal di Bukittinggi. Ia harus mengemis, hutang sana sini untuk kesembuhan putranya, namun takdir menghendaki berbeda, putranya tak tertolong. Van Haselling melirik sekilas wajah pucat penuh harap kawannya. Aku bisa mengabulkan keinginanmu, ucap Van Haselling.
Lars membelalak matanya mendengar jawaban kawannya. Ia hendak memeluk Van Haselling untuk mengucapkan rasa terimakasih, namun segera dicegah Van Haselling. Namun ada syarat untuk mendapatkannya, terang Van Haselling. Ia lantas menyodorkan sebuah lembar berkas padanya. Lars kaget melihat berkas itu.
“Masih ingat surat yang aku kirimkan padamu kan?”
“Iya, aku masih ingat,” Lars mengangguk penuh ragu. Ia mulai menebak ke mana arah permintaan temannya. Van Haselling lantas mengatakan ada pemilik modal dari Belanda sudah menyepakati besaran biaya andaikan perkebunan hasil sitaan itu akan ditanami teh bukan kopi.
“Orang itu bersungguh-sungguh Lars. Dia sudah menyerahkan uang muka sebagai jaminan, padahal aku tak minta,” ungkap Van Haselling.