Wigati masih digelayuti keraguan mengikuti langkah cepat kakak perempuannya. Dokar yang membawa mereka berhenti di pertigaan jalan lenggang. Kanan kiri jalan tumbuh rerimbunan pohon menjulang meninggi.
Mereka berdua berjalan beriringan, bisu membeku. Dinginnya udara pagi Bandung tak mempan membuat mereka menggigil. Terlebih bagi Wigati, sengilu hempasan udara pagi ini sudah kebal merasuki celah kulitnya sejak kecil.
Entah berapa kali Wigati mencuri pandang ke wajah dingin kakaknya yang memandang ke depan, tanpa melirik secuil pun padanya.
Pagi ini Dewi terpaksa mengajak Wigati ke rumah yang ia harap bisa membantu urusan Wigati.
“Kenapa harus menemui mereka?” tanya Wigati malam itu di rumah Dewi. Berkumpul serumah lagi bersama kakaknya membuat Wigati sekejap melupakan lara dirinya. Meluapkan segala kerinduan yang membuncah.
Dewi terdiam, ia masih membolak-balik buku berwarna coklat tua. “Semua kebenaran ada di buku ini. Bacalah sampai tuntas. Ini tulisanku selama ini, kalau ingin tahu kenapa aku minggat dari rumah dan meninggalkanmu,” terang Dewi. Ia menyodorkan buku itu di hadapan adiknya. Wigati menatap ragu buku tua itu. “Kau juga akan tahu sebab suamimu dipenjara.”
Mendengar itu Wigati langsung belingsatan membuka buku itu. Dewi meninggalkan adiknya merenungi sebuah kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Sepanjang malam, sayup-sayup Dewi mendengar suara lirih tangis bercampur gumpalan kemarahan Wigati. Kebenaran itu rasanya pahit Wigati, seru Dewi dalam hati.
Dari buku catatan itulah mereka berdua pagi ini menuju sebuah rumah besar bergaya Indische Empire. Wigati tak mempedulikan mata merahnya lantaran tak tidur dan banyaknya luapan air mata tercurah.
***
Baru memasuki halaman merimbun hijau, mereka dihadang dua laki-laki Sunda penjaga rumah. Mereka terhenyak kaget lantaran tak pernah melihat dua perempuan bertamu di rumah majikannya.
Mereka berdua pun mengusir Dewi dan Wigati. Kalau kalian melarang kami bertemu majikanmu. Berikan surat ini padanya, kami akan menunggu di sini, pinta Dewi, membentak galak. Membuat dua laki-laki itu mengkeret wajahnya. Mereka lantas bergegas berlari ke dalam rumah.
Wigati berdiri di sampingnya, tertunduk diam, padahal ia ingin sekali tahu isi surat itu.