Seorang perempuan Eropa muda berjalan sedikit tergopoh melewati lorong gedung Hogeschool voor de Kunsten Bataviasche. Wajahnya terpancar kesal menumpuk. Ia lantas berhenti di depan pintu studio lukis yang sudah beberapa hari ini sering ia sambangi. Tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu.
Di dalam ruang studio, penuh lukisan bertebaran, berserak tak tertata, seorang pemuda bertubuh tinggi, sedang duduk melamun menatapi sebuah lukisan. Pemuda itu mematung lesu, tak menghiraukan kedatangan seseorang. Hatinya terkoyak kepedihan. Saat derai kesedihan menghampirinya, ia selalu menghabiskan harinya memandangi lukisan yang sejak lama ia ciptakan.
“Hanz,” seru perempuan muda itu.
Orang yang dipanggil tak lekas menoleh atau membalasnya. Hanz tak bergeming dari tempatnya memandangi sebuah lukisan. Membuat perempuan itu bertambah kesal. Terpaksa ia berjalan mendekatinya, memanggil, serta menepuk pundaknya cukup keras. Hanz tergagap menyadari seseorang di sampingnya.
“Maaf Juffrouw Brisle,” ucap Hanz lirih. Ia tak berani menatap wajah pengajar lukis itu. Hanz merundukkan wajah muramnya.
“Aku tahu kau sangat terpukul atas kematian Professor Marinus. Tapi bukan begini caramu melampiaskan sedihmu,” ujar Brisle, masih memasang wajah kesal.