Aroma sapi panggang langsung menyesaki hidungku, membuat syaraf laparku menyembul, memacu kuat. Perutku yang sedari siang belum terisi langsung meronta tak tertahankan. Belum rampung kusesap aroma sapi panggang, giliran aroma sate kambing tak mau kalah beradu, membaur di setiap tarikan nafas laparku.
Sampai kapan aku menunggu disiksa aroma nikmat ini?
Kini aku sedang sendirian di meja makan sebuah rumah makan. Memang aku sengaja datang kemari setelah sekian lama aku mencarinya. Warung terenak yang tersembunyi di sudut Batavia, begitu kata orang-orang saat aku menyesap udara Batavia pertama kali.
Tak berselang lama seorang pelayan perempuan berjalan membawa baki penuh dengan piring. Dengan cekatan ia menaruh semuanya di atas meja, di akhir ia membawa anggur, katanya sangat laris di warung ini.
“Selamat menikmati Juffrouw,” ucapnya dengan senyum ramah, lantas berjalan meninggalkanku. Kerumunan laki-laki yang sedang makan siang sempat menoleh ke arahku. Aku bisa memakluminya lantaran aku satu satunya perempuan dan pesananku berjubel hampir memenuhi semua meja.
Baru mengunyah nikmatnya daging sapi panggang, aku mendengar langkah kaki mendekatiku. Seorang perempuan pribumi berkebaya putih berdiri di samping meja makanku. Melihatku lahap sekali ia tersenyum seperti mengejek.
“Juffrouw Viona, maaf kalau mengganggu menikmati makan siang,” ucapnya kalem. Ia langsung duduk menghadapku. Terpaksa aku menjeda sejenak acara makan. Mata hitamnya menatapku.
“Ginanti? Kaukah sahabat Katelijne yang akan membantu urusanku di Batavia?” tanyaku. Ia mengangguk tenang.
Ginanti menyerahkan sepucuk surat, ditulis sendiri oleh Katelijne. Dalam surat itu Katelijne meminta Ginanti, untuk merampungkan urusanku sampai tuntas. Aku tak meragukan pilihan Katelijne.
Usai makan aku meneguk anggur dua gelas sebagai penutup. Ginanti menyodorkan sebatang rokok. Kenapa mau menuruti permintaan Katelijne untuk membantuku? Tanyaku padanya, ia malah tersenyum. Aku berhutang nyawa pada Katelijne dan aku sudah bersumpah akan membalas budinya, apa pun permintaannya akan kuturuti, ungkap Ginanti. Aku hanya mengangguk tanpa perlu tahu urusannya dengan Katelijne.
“Ngomong-omong makanan tadi bagaimana Viona? Sesuai dengan seleramu?”