Dua orang laki-laki paruh baya berjalan lambat melewati pinggir kanal, sesekali mereka berhenti, sekedar menyesap rokok bergantian.
Pekat malam merangkak cepat, larut menggulita. Beruntung bulan mau membagi secercah cahayanya untuk menerangi malam Batavia.
“Kenapa kita berdua harus selarut ini menemui Inspektur Baron? Bukankah dia bisa menemui kita siang atau sore di tempat biasa?” tanya laki-laki berperawakan pendek bernama Karmin.
“Mana pula aku tahu. Nanti tanya saja sendiri. Yang jelas situasi sekarang tidak aman setelah kematian majikan kita berdua,” terang laki-laki bernama Sadiyo. Mereka berdua terus berjalan membawa kecurigaan terpendam.
Akhirnya sampailah mereka di sebuah kedai remang-remang. Di kanan kiri masih banyak kedai buka sampai pagi. Kedai yang biasa jadi pelampiasan orang miskin menghabiskan malamnya.
Dengan langkah meragu mereka berdua masuk ke dalam kedai. Mereka tertegun kaget lantaran Inspektur Baron sudah duduk sendiri di meja paling pojok. Tahu kedatangan Sadiyo dan Karmin, Inspektur Baron lantas menyambut mereka.
“Bagaimana kabar kalian berdua?” tanya Inspektur Baron, memulai percakapan. Karmin dan Sadiyo menjawab dengan ucapan lirih. “Tidak terlalu baik Inspektur.”
Sejak kematian Marinus dan Werner, Inspektur Baron jarang mengunjungi rumah mereka berdua. Inspektur Baron, Werner, dan Marinus sejatinya bersahabat erat sejak masih sekolah di Batavia. Masih erat sampai mereka menempuh kehidupan masing-masing.
Kematian kedua sahabatnya membuat Inspektur Baron gila berhari-hari, sampai ia diminta cuti lantaran remuk redam jiwanya melihat kematian mengenaskan kedua sahabatnya.
“Inspektur apakah sudah tahu siapa pembunuh Mijheer Marinus dan Mijheer Werner?” tanya Karmin. Inspektur Baron memucat wajahnya. Hanya menggeleng lemah. Veiligheidspolitie masih kesulitan mencari petunjuk sampai sekarang, ungkap Inspektur Baron. Mereka bertiga terdiam sesaat.