Sambil menunggu laki-laki tua itu tersadar aku mengisi butir demi butir peluru revolver milikku. Terakhir aku menggunakan revolver ini saat aku menembak mati dua orang hendak membunuhku. Kini akan kugunakan lagi revolver ini.
Kulihat laki-laki tua itu mulai menggeliat di tempat tidurnya.
“Tenggorokanku sakit. Tolong ambilkan aku minum,” serunya sambil mengerang kesakitan. Suaranya bagai orang sekarat kehausan di tengah padang pasir.
Lantaran tidak ada sahutan, ia bangkit dari tempat tidurnya, susah payah. Badanya terhuyung-huyung.
“Selamat malam Gerhardus. Kau menginginkan ini?” aku mengangkat teko berisi air minum. Mendengar ucapanku ia terperanjat kaget. Wajah terkejutnya menatap tajam padaku yang duduk di kursi empuk singgasananya.
“Savina kaukah itu?” serunya nampak ragu. Ia mengucek kedua matanya. Meraih kaca mata. Perlahan mencoba mendekatiku. Betapa terperangahnya, saat ia mendapati bukan sosok Savina di hadapannya.
“Siapa kau? Kenapa bisa masuk ke kamarku. Apa maumu?” suaranya terserak-serak panik, disertasi batuk-batuk. Aku yakin ia sangat tersiksa lantaran seluruh tenggorokannya membengkak. Ginanti melakukan pekerjaan dengan sangat baik, pujiku dalam hati.
“Kau sudah sangat pikun sekali rupanya. Bukankah kita pernah bertemu di gedung Harmonie.”
“Aku tak peduli. Apa maumu sebenarnya? Akan kujebloskan kau ke penjara kalau berani lancang denganku,” teriak Gerhardus mendengus marah. Suaranya semakin memprihatinkan. Ia berjalan ke sekeliling kamarnya mencari air minum, sialnya tak ia temukan. Mencoba membuka pintu sialnya terkunci, lantaran kuncinya sudah aku bawa.
Gerhardus bertambah murka tak ketulungan. “Serahkan air minum itu, tenggorokanku panas sekali. Cepat.”
Saat ia hendak meraih teko di dekatku, aku langsung menodongkan revolver tepat di kepalanya. Raut ketakutan menjalar seketika di wajah tuanya. Ia lantas berteriak minta tolong, namun suaranya semakin lemah tersiksa, terbatuk sakit. Kukatakan padanya percuma berteriak, karena semua penjaga rumah sudah tertidur lelap lantaran terbius oleh ramuan buatan Ginanti yang dicampurkan ke makanan dan minuman.
Gerhardus terduduk pasrah. Di bawah temaran cahaya lampu, aku bisa melihat laki-laki tua itu memerah wajah dan matanya. Kulemparkan sebuah foto ke arahnya.
“Kau pasti sangat mengenal laki-laki di foto itu.” Gerhardus mengambil foto itu dengan kesal. Tiba-tiba matanya membelalak, dahinya berkerut. “Jangan pura-pura lupa. Ingatlah sebelas tahun yang lalu di Rotterdam. Seorang jurnalis muda dibunuh mengenaskan. Kepalanya hancur, tubuhnya dikoyak anjing buas.”
“Siapa dirimu sebenarnya? Apa hubunganmu dengan orang ini?”