Dahlia Merah di Penghujung Abad

tuhu
Chapter #105

22

 Kepada malam, cepatlah datang. Aku sudah tak sabar hendak berjumpa. Untuk senja sore, cepatlah berlalu, lenyaplah, seruku sambil menikmati secangkir teh di penginapan.

“Malam ini aku harus melakukannya sendiri. Dengan tanganku sendiri,” ucapku.

Tadi siang Ginanti memohon padaku untuk ikut membantu. Terpaksa aku menolaknya. Aku tak ingin ia celaka, biarlah aku selesaikan sendiri urusan ini.

 Kurasakan degum jantungku bergemuruh kuat seiring meredupnya semburat cahaya senja. Ketika malam benar-benar datang, aku menyambutnya penuh harap. Tiada bertaburan bintang maupun wujud sempurna bulan bertengger di petala malam.

Dengan kereta kuda, aku berangkat menuju gedung Harmonie. Sesampainya di sana aku bisa merasakan meriahnya perayaan ulang tahun kota Batavia. Gemerlap lampu membujur dari jalan menuju gedung Harmonie. Bagai kastil bermandikan cahaya.

Para tamu yang datang banyak tak kukenal. Pesta malam ini memang besar nan megah. Mengundang orang-orang penting tak hanya di Batavia melainkan seluruh Hindia Belanda.

Di antara kerumunan tamu undangan berbalut gaun dan jas mewah, aku melihat Hanz, sedang berbincang mesra dengan kekasihnya. Tubuhku gemetar. Ingin sekali aku menghampirinya, tak peduli ada kekasihnya. Aku sangat merindukannya.

Saat kakiku hendak melangkah menghampiri Hanz, aku mendengar suara dari ruang utama. Tanda bahwa acara segera dimulai. Di saat itu aku tersadar, urusanku di sini bukan untuk menuruti perasaanku.

“Selamat malam seluruh tamu undangan yang saya cintai,” seru seorang laki-laki berkumis tebal berseragam lengkap dengan jabatannya. Kulihat wajahnya malam ini cerah sumringah membuka pesta malam ini.

Para tamu menatapnya penuh ketundukan hormat lantaran ia orang nomer satu di Batavia, Aernout van Lambrecht. Orang yang malam ini akan kutagih nyawanya. Semakin Aernout menebar senyum semakin panas sesak dadaku.

 

***


Acara perayaan dimulai, begitu pun aku siap memulai semua rencanaku. Aku sudah mengetahui setiap sudut terdalam gedung Harmonie, lantaran aku mendapatkan denah asli gedung Harmonie dari Brisle. Katanya ia mencuri denah gedung Harmonie dari Werner, arsitek gedung ini.

Saat orang-orang berkumpul di ruang tengah, diam-diam aku menyelinap. Berjalan menuju pinggir gedung utama. Melewati pintu dapur. Aku menaiki tangga kecil tersembunyi, menghubungkan langsung ke lantai dua. Di lorong lantai dua aku mengendap masuk ke kamar rias. Di sana aku mengambil bungkusan berisi jubah hitam dan revolver yang sudah diselundupkan Ginanti saat mengantar pasokan minuman anggur dan cognag. Aku bergegas keluar dan masuk ruangan perpustakaan dekat kamar mandi laki-laki.

“Sekarang aku tinggal menunggu pembunuh itu datang,” ucapku sambil menajamkan telinga dan mataku di antara gelapnya perpustakaan.

Aku yakin Aernout bakalan datang, lantaran semua sudah diatur jauh hari sebelumnya.

Dimulai dari mengatur minuman anggur hendak disuguhkan khusus untuk Aernout. Selama ini minuman mewah itu diambil dari restoran milik Savina. Ginanti dan Brisle sudah menyekap Savina, mereka mengambil alih pasokan minuman. Para penjaga Harmonie tidak akan mencurigai lantaran Ginanti selama ini sering memasok sajian untuk pesta.

Siang tadi minuman itu sudah siap. Kejutannya ada di dalam minuman khusus untuk Aernout. Lantaran sudah ditaruh racun oleh Ginanti. Racun itu akan membawanya datang ke lantai dua ini.

Untuk memudahkan pelarianku, ada sebuah lorong rahasia terkunci. Penghubung antara gedung Harmonie dengan luar gedung melewati jalan rahasia. Brisle mendapatkan kunci itu setelah ia mengobrak-abrik kantor Werner. Laki-laki itu yang merancang renovasi gedung Harmonie.

Mataku kini tak lepas dari jam besar di sudut ruang perpustakaan. Lima menit lagi jamuan makan akan dimulai. Setiap jarum berdetik semakin jantungku terpompa cepat.

Tidak ada lima menit aku mendengar langkah kaki bergerak cepat, seperti diburu. Semakin cepat langkahnya semakin menguatkan aliran darahku.

Lihat selengkapnya