Kubuka jendela, kusambut pagi masih mewujud muda. Berselimut lekat dinginnya udara. Awan bermendung berarak di langit pagi. Rintik hujan masih berjatuhan sejak semalam. Membasah kuyup sekumpulan bunga Dahlia Merah di taman. Musim hujan kerap mengguyur langit Batavia sejak bulan kemarin.
Saat aku sedang menikmati rintik gerimis, hidungku menyesap aroma kopi hangat. Bersamaan itu kudengar langkah kaki. Viona, kau tahu hari ini hari apa? Tanya Brisle seraya menaruh secangkir kopi lantas menyodorkan padaku. Ginanti membawa kue buatannya. “Sudah lama aku tidak mengenal waktu. Bukankah semuanya sama saja.” Seteguk kopi membuatku melek.
“Hari ini tanggal penghabisan di penghujung abad,” terang Brisle.
“Dan kita adalah tiga perempuan yang beruntung bisa menikmati penghujung abad dengan menyeduh kopi,” tambah Ginanti, sambil mengunyah kue buatannya sendiri. Kata beruntung memang tepat bagi kami bertiga bisa melewati segalanya.
“Pernahkah kalian berfikir apa yang sudah kita lakukan? Karena ulah tiga perempuan, membuat tanah Hindia Belanda berguncang,” ucapku, melirik mereka berdua, saling pandang, dan dalam sekejap kita bertiga malah tertawa terbahak.
Aku tidak menduga perbuatan kami menjadi sedemikian dahsyat goncangannya. Setelah pembunuhan Aernout van Lambrecht dan Gerhardus menyeruak, serentak semua surat kabar di Batavia bahkan seluruh Hindia Belanda tak putus-putusnya mengabarkan berita mengerikan itu sampai berbulan-bulan. Hingga menyentuh penghujung abad ini.
Surat kabar di Eropa tak kalah gemparnya. Nama bunga Dahlia Merah menyembul kuat di setiap sudut-sudut kehidupan masyarakat Hindia Belanda. Digunjingkan jutaan mulut. Sampai pagi bermendung ini masih saja riuh diperbincangkan.
***
Kalau bukan uluran tangan-tangan bertaruh nyawa yang membantuku, mungkin pembalasanku hanya sanggup kulakukan di angan-angan saja. Terutama Brisle, sejatinya aku sudah bertemu dengannya sejak di Semarang. Katanya ia susah payah mencari Katelijne untuk membantu membalas kematian ayahnya. Katelijne menawarkan padanya juga padaku untuk bekerja sama. Walau harus menunggu setahun lebih lantaran urusanku di Karesidenan Priangan, akhirnya aku bisa membantu Brisle merampungkan pembalasan.
Mengurus Marinus dan Werner tidak terlalu sulit, karena penjagaan di gedung Harmonie waktu itu sangat lemah.