Dahlia Merah di Penghujung Abad

tuhu
Chapter #107

PENGHUJUNG?

Sebelum kakiku meninggalkan tanah Hindia Belanda untuk selamanya, ada satu urusan hendak aku rampungkan. Aku harus menemui Hanz. setidaknya untuk terakhir kalinya. 

Malam ini aku mengajaknya bertemu di sebuah restoran tempat biasa kita bertemu. Beruntung malam ini ia tidak lembur di studio lukisnya. Kini jabatannya di sekolah lukis menjadi wakil kepala sekolah. Sungguh pencapaian mengagumkan di usianya yang masih muda.

“Selamat untukmu Hanz. Pelukis muda Batavia,” ucapku sambil bersulang. Ia tersenyum malu-malu. “Terimakasih Viona.” Malam ini aku melihat sorot kegembiraan di matanya. Aku jadi ragu untuk mengutarakan kata pamitan.

“Ada apa Viona? Wajahmu nampak gelisah,” tanya Hanz. Aku tergagap, berusaha untuk tersenyum.

“Hanz. Malam ini jadi malam terakhirku bertemu denganmu. Besok aku harus pergi meninggalkan Hindia Belanda. Mungkin untuk selamanya.”

Hanz tercengang bengong mendengarnya. Seakan tak percaya yang kukatakan. Pergi? Pergi ke mana Viona? Tanya Hanz, kerut wajahnya menegang. Kukatakan kalau aku hendak ke Amerika. Ada urusan dagang. Urusanku di sini sudah selesai.

“Jangan pergi Viona. Aku sangat mencintaimu. Izinkan aku hidup lebih lama bersamamu,” bujuknya dengan bibir bergetar. Ia menggenggam tanganku kuat sekali. Getarannya memporak-porandakan hatiku.

“Aku juga mencintaimu Hanz. Tapi kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Jalan kita berbeda. Apalagi kau sudah punya kekasih dan kehidupan mapan di sini,” terangku, menahan gemuruh di dadaku.

Tanpa berucap sepatah kata pun Hanz pergi meninggalkanku. Aku mengikutinya, ia berjalan tersaruk-saruk dengan langkah lesu. Aku berseru memanggilnya namun ia tak menoleh sedikit pun padaku. Sampai di sebuah jembatan ia berhenti.

“Kalau kau hendak pergi dari Hindia Belanda untuk selamanya, baiklah Viona. Ayo ikut denganku,” pinta Hanz. Ia menarik tanganku kuat. Aku tanya mau ke mana, Hanz membisu. Kami berdua naik kereta kuda dan berhenti di gerbang sekolahnya. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu, ujarnya.

 

***


Gedung sekolah Hogeschool voor de Kunsten Bataviasche nampak sepi sekali. Entah bagaimana Hanz bisa membuka pintu belakang. Aku terus mengikutinya tanpa satu kata terucap di antara kita.

Kami berdua berhenti di studio lukis. Hanz membuka pintu lantas menyalakan lilin. Aku bisa melihat semua hasil karyanya terpajang di studio. Ada beberapa lukisan belum jadi.

“Aku tak bisa memberimu apa-apa selain lukisan ini, Viona. Bawalah lukisan ini ke mana pun kakimu melangkah pergi,” ungkap Hanz.

Mataku langsung tertuju pada lukisan anak kecil. Tak lain adalah wujud diriku sendiri. “Bukankah lukisan ini sangat berharga bagimu?” Tanyaku. Hanz hanya menggeleng sambil berucap pelan, kalau lukisan itu sudah ia relakan sepenuh hati terlepas darinya.

Lihat selengkapnya