“Bahagiakah kau melihatku bebas tak bersayap? Kutitipkan tetes air mata ini untuk kebahagian itu. Kelak jika kau menangis air mata ini akan jatuh bersama air matamu.”
Seuntai kalimat itu ditempelkan Dai di atas sebuah foto berbingkai dirinya dan Rahmania. Bulir air matanya tak henti-hentinya membasahi kaca bingkai foto tersebut sehingga nyaris basah.
Bergegas ia memasukan foto itu ke dalam sebuah kado yang akan diberikan pada saat pernikahan Rahmania nanti. Air mata itu akan tetap ada sampai Rahmania membukanya nanti. Sengaja dia tidak menyeka air matanya yang mengalir di atas bingkai. Agar Rahmania tahu bahwa jiwanya menangis, tersakiti, terluka dan terhempas.
Dai membungkus kado itu dengan kertas kado warna hitam pekat. Warna hitam melambangkan sebuah duka, sebuah kehilangan, sebuah peristiwa yang telah membuatnya seperti menghadapi kematian.
Kini kenangan Rahmania yang tak kunjung putus berkeliaran di otaknya, apalagi di musim hujan yang syahdu semakin membangkitkan kembali kenangannya bersama kekasihnya itu.
Musim itu telah berganti. Membawa mereka ke arah pintu gerbang untuk memasuki area baru sebuah kehidupan. Musim itu pun sebagai penanda peralihan mereka dari masa SMA menuju jenjang Universitas.
Banyak Universitas yang bisa diakses oleh mereka, tapi karena takut terpisah membuat mereka mengambil keputusan harus diterima di universitas yang sama, Universitas Indonesia. Didasari oleh keinginan mereka untuk selalu memupuk kebersamaan yang telah terjalin semenjak SMA, mereka berniat harus sama-sama diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut.
Saat itu senja yang mulai bergelimang warna keemasan di cakrawala, burung-burung terlihat melintas pulang ke sarang. Di saat itu Dai dan Rahmania melepas penat setelah separuh jalan sekembali dari Universitas Indonesia Depok, untuk berburu informasi seputar perkuliahan. Mereka singgah di sebuah Masjid untuk menunaikan Sholat Magrib.
Usai Sholat Magrib mereka berburu kuliner di sekitar Masjid lokasi persinggahan mereka. Di beberapa titik sepanjang jalan nampak beberapa penjual buah durian menanti para pembeli, ada pula kafe sop durian yang lagi diminati banyak pemburu kuliner saat itu.
Dai dan Rahmania duduk di salah satu kafe menikmati sop durian yang terhidang di meja kecil berwarna pelangi di hadapan mereka.
Seraya menikmati sop durian, mereka membuka laptop untuk membuat pendaftaran secara online jalur mandiri masuk Universitas Indonesia. Sesuai keterangan yang mereka dapat di kampus UI tadi, bahwa jalur mandiri masuk Fakultas Ekonomi universitas bergengsi itu masih dibuka hingga pukul dua belas tengah malam ini. Maka pengerjaan isian formulirnya tak bisa ditunda-tunda lagi.
Dai dan Rahmania dengan pandangan sangat serius terus menatap dan memperhatikan dengan seksama layar laptop di hadapan mereka, melihat semua penjelasan dan panduan yang tertulis di website Fakulatas Ekonomi UI.
“Rah. Formulir itu masih saja belum diisi!” kata Dai memandang formulir online di layar laptop di hadapan Rahmania.
“Entahlah, aku masih belum yakin dengan apa yang akan kuhadapi,” jawab Rahmania pelan tapi suaranya cukup jelas. Membuat lelaki yang bernama Dai di hadapannya membuat senyuman terpaksa.
“Cobalah sop durian ini dahulu! kamu pasti akan bersemangat lagi,” ujar Dai sambil menyodorkan wadah berisi sop durian lebih dekat di hadapan Rahmania.