Hubungan asmara Dai dan Rahmania terbingkai tatkala ayah mereka masih tergabung dalam sebuah kerjasama grup hotel berbintang ibukota. Pengembangan bisnis hotel syariah merupakan salah satu cabang perusahaan Mutu Corporation milik Pak Indra ayah orang tua Dai. Pertemuan dan rapat manajemen perusahaan yang dilakukan petinggi hotel tak jarang anak-anak mereka yang masih kecil diajak serta.
Dai dan Rahmania secara tak sengaja sering dipertemukan oleh kedua orang tua mereka saat itu. Cinta yang dimulai dari hal-hal kecil ketika mereka bermain-main di kantor perusahaan milik orang tua mereka. Mereka Sekolah di SMP dan SMA yang sama. Semenjak SMP itulah cinta mereka bersemi. Terlebih setelah meninggalnya Neni Trianda sang ibundanya, Dai Merasa seperti menemukan sosok ibunya yang hilang pada Rahmania. Jalinan asmara itu berlanjut hingga mereka SMA .
Ketika hubungan kerjasama antar ayah mereka pecah dan tidak tergabung lagi dalam satu grup, cinta Dai dan Rahma tetap terjalin. Namun, hubungan asmara itu kena imbasnya. Tatkala perpisahan kerjasama Ayah mereka menjadi sebuah persaingan yang tidak sehat. Masa itulah saat terberat hubungan mereka berdua.
Manakala sikap ayah Rahmania tidak sebaik dulu lagi, bahkan cenderung menghalangi percintaan Dai dan Rahmania. Tak pelak lagi hubungan cinta Dai dan Rahmania menjadi semacam hubungan yang tersembunyi dari Ayah Rahmania, walaupun sikap berbeda diperlihatkan Ayah Dai yang tetap memberikan sinyal positif akan kelanjutan cinta mereka.
Maka pada suatu pagi yang bersinar cerah di minggu pertama hari libur bulan April, sebuah kejadian tak terduga oleh Dai mengguncang kembali hidupnya, inilah kepahitan hidup kedua Dai setelah ditinggal ibunda tercinta.
Begini kisahnya, pagi itu Dai bergegas mempersiapkan segala sesuatu, agar terlihat sangat baik di hadapan Om Hardian Ayah Rahmania. Bergaya dan berdandan serapi mungkin, pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang terbaik. Bahkan ia menyiapkan cendramata buat Om Hardian sebuah jam tangan bermerek.
Melalui SMS, Om Hardian mengundang Dai makan siang di kediamannya. Dai adalah orang yang berpikiran positif. Undangan makan adalah sebuah pengharapan akan perbaikan hubungan dengan Rahmania yang selama ini terganjal oleh Om Hardian.
Sambil bersenandung Dai meyakinkan dirinya di kamar sambil bolak balik di kaca, mematut diri bahwa penampilannya saat itu adalah penampilan terbaik. Setelah puas berdandan dia segera keluar kamarnya lalu berpamitan dengan Ayahnya.
Pak Indra hanya terpaku melihat tampilan anaknya yag begitu keren, wangi dan berdandan sangat rapi. Sesaat hatinya dipenuhi oleh ketenteraman dan kedamaian. Diperhatikan anaknya dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Dai mencium tangan ayahnya sambil berpamitan. Lalu menyampaikan niatnya pada ayahnya itu bahwa dia harus memenuhi undangan dari Om Hardian. Hanya saja Pak Indra ada semacam firasat tak enak yang akan terjadi. Pak Indra mencegah Dai berpergian, apalagi hari itu bertepatan dengan rencana mereka berziarah ke pusara Almarhumah Ibunya.
“Ngak bisa, Yah. Ini momentum yang tepat memperbaiki hubungan saya dengan Om Hardian,” jawab Dai sambil melanjutkan langkahnya.
“Dai!” bentak Pak Indra pelan. Namun tak berhasil menghentikan langkah anaknya yang tergesa.
Pak Indra seketika mencoba menenangkan perasaannya, walau semacam firasat yang tidak mengenakan itu makin membumbung menggerayangi hatinya jika Dai tetap memenuhi undangan makan Om Hardian.
Bagaimanapun juga menghalangi dan mencegahnya, akan sia-sia belaka. Sifat dan watak Dai keras kepala, tidak seperti sikap Doa kembarannya.
Pak Indra menuju kamar Doa yang terletak bersebelahan dengan kamar Dai, hanya terpisahkan oleh sebuah dinding tebal rumah tersebut. Sebuah kamar yang sangat mewah seperti kamar-kamar bintang lima hotel yang dimilikinya.
“Doa!” panggil Pak Indra begitu membuka kamar kembaran Dai itu.
Doa menggeliat demi mendengar suara ayahnya. Matanya yang terpejam langsung terbuka.
“Maaf, Yah! Saya bangun telat, maklum hari Minggu,” katanya sambil mengucek matanya dan menahan rasa menguap.
“Tumben. Ayah yang membangunkan saya. Biasanya, Bibi Marni.”
“Ayah mau mengajak kamu ke Pusara Mendiang Ibumu.”
“Iya Ayah, soalnya Doa sudah kangen dengan Ibu,” Doa bergegas membuka selimut dan keluar mengintip kamar Dai.