Daijoubu?

Kinarian
Chapter #1

Asumsi Gila

Tidak terhitung sudah berapa kali Arlen melirik ke arah meja Ferdi. Selama pelajaran berlangsung, Ferdi memang terlihat lebih gelisah dibandingkan biasanya. Pagi tadi Arlen juga sempat melihat Ferdi bertengkar dengan anak laki-laki kelas XII meskipun dia sendiri tidak mengetahui siapa nama kakak kelasnya itu. Tadinya Arlen berniat menghampiri mereka, tetapi urung karena harus segera ke ruang OSIS untuk mengecek sesuatu.

Bu Sekar yang sedang menjelaskan materi menyadari gelagat Ferdi hingga memusatkan pandangan pada laki-laki itu. “Ferdi, kamu sakit? Ibu perhatikan sejak tadi kamu gelisah dan tidak menyimak penjelasan Ibu.”

“O-oh, maaf, Bu. Saya agak pusing. Saya izin ke UKS ya, Bu.” Ferdi sedikit membenahi posisi duduk, membuat teman-teman yang lain kini memusatkan perhatian padanya.

“Arlen, coba antar Ferdi ke UKS, ya. Takutnya Ferdi pingsan kalau dibiarkan sendirian ke UKS.” Tatapan Bu Sekar seketika beralih pada Arlen yang terkejut mendapatkan perintah seperti itu. Biasanya jika ada yang sakit akan dibiarkan pergi ke UKS sendirian atau diantar teman sebangku.

Tanpa banyak menunggu, Ferdi langsung mengemasi beberapa buku yang berserakan di mejanya. Tiba-tiba salah satu buku milik Ferdi terjatuh dengan posisi terbuka, menampakkan sebuah gambar seorang anak yang terduduk sambil menangis dengan tulisan permohonan maaf menggunakan spidol hitam.

“Ayo!” seru Ferdi, memberi jalan pada Arlen agar berjalan lebih dulu. “Saya permisi, Bu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Bu Sekar menanggapi, membiarkan Arlen dan Ferdi meninggalkan kelas, kemudian melanjutkan mengajar.

Sepanjang menuju UKS yang terletak di samping ruang ekstrakurikuler PMR, Arlen dan Ferdi hanya saling membisu satu sama lain. Tak ada yang bersuara sedikit pun, benar-benar tidak menunjukkan kalau keduanya adalah teman sekelas. Alih-alih dicairkan oleh obrolan, suara para guru yang sedang mengajar lebih mendominasi kehampaan di antara mereka.

Tidak banyak yang tahu bagaimana sosok Ferdi sebenarnya, begitu juga Arlen. Selama ini yang ada di kepala Arlen hanya penilaian negatif tentang Ferdi yang tidak pernah ramah, bahkan dominan menyebalkan. Bukan hanya itu, Ferdi juga sering memisahkan diri saat pelajaran Olahraga dengan duduk di pinggir lapang meskipun beberapa teman selalu mengajaknya bergabung.

Ferdi juga terlampau sulit didekati dan selalu menghilang saat jam istirahat. Biasanya dia akan menghabiskan waktu di perpustakaan, kemudian kembali ke kelas saat bel masuk berbunyi. Maka tak heran bila beberapa teman sekelasnya kadang menjuluki Ferdi sebagai “manusia tak kasatmata”. Ada, tetapi sering menghilang begitu saja.

“Len, lo nggak perlu anter gue ke UKS. Soalnya gue mau pulang.” Langkah Ferdi terhenti di persimpangan antara koridor menuju gerbang utama dan koridor menuju ruang UKS.

Arlen yang sejak tadi berjalan pun ikut berhenti. “Bu Sekar nyuruh gue nganterin lo ke UKS. Kalo sekarang lo malah pulang, nanti gue harus ngomong apa sama Bu Sekar?”

“Ya lo bilang aja, ‘Iya, Bu. Ferdi udah diantar ke UKS’. Masa begitu doang nggak becus?”

Mata Arlen memelotot, kesal mendengar pertanyaan Ferdi. “Maksud lo apa ngomong begitu? Becas, becus. Gue becus, kok. Gue nggak mungkin jadi ketua OSIS kalo ngomong begitu doang nggak becus. Lagian nanti di ruang piket pasti lo ditanya sama guru di sana, kenapa lo pulang!”

“Lo khawatir sama gue?” Kali ini tatapan Ferdi penuh arti. Arlen yang menyadari hal itu langsung memalingkan wajah. “Udah, deh. Lo nggak usah banyak omong. Sana, balik ke kelas. Sepanjang apa pun gue jelasin, lo nggak akan paham. Jadi mending lo belajar yang baik, biar semester ini nilai lo bisa di atas gue.”

Lagi-lagi ucapan Ferdi terdengar menyebalkan bagi Arlen. Gadis itu sadar kalau selama ini nilai-nilai Ferdi memang masih berada di atasnya. Ferdi bukan siswa yang ramah untuk dijadikan teman, tetapi cukup berprestasi di kelas. Namanya selalu nangkring di urutan ranking pertama, sedangkan Arlen berada di bawahnya.

“Gue mau anterin lo karena disuruh Bu Sekar. Tapi kalo lo mau pulang, ya udah! Gue nggak akan ikut campur kalo nanti lo dapet masalah.” Arlen berbalik, hendak kembali ke kelas tanpa menunggu jawaban Ferdi. Baru beberapa langkah, dia memutuskan berhenti berjalan dan mengalihkan pandangan pada Ferdi lagi.

“Dan … lo nggak perlu repot-repot ngingetin gue biar belajar yang baik. Lihat aja, semester ini, gue bakalan geser posisi lo di kelas!” tunjuk gadis itu, penuh percaya diri.

“Terserah!” Seakan benar-benar tidak peduli, Ferdi melenggang menyusuri koridor menuju gerbang utama. Sementara itu, Arlen hanya melongo mendengar jawaban Ferdi dan semakin kesal.

Lihat selengkapnya