Sosok Arlen yang tak pernah main-main itu kini menjadi sorotan satu sekolah setelah pernyataannya melalui pengeras suara. Sambil menunduk, dia keluar dari ruang kelas tanpa banyak berbicara. Selama menjabat sebagai ketua OSIS, baru kali ini dirinya melakukan kesalahan fatal. Tak mengherankan kalau beberapa siswa yang sebelumnya sibuk bergibah tentang Ferdi, kini malah balik menyerangnya.
Ini resiko yang harus gue terima, pikir Arlen sejak keluar dari kelas.
Pikirannya kembali semrawut, terlebih ketika pihak kesiswaan dan wali kelas memanggilnya untuk menceritakan apa yang terjadi. Parahnya lagi, Arlen harus kembali membuat klarifikasi secara langsung di hadapan semua siswa saat upacara Senin nanti. Arlen benar-benar di ujung kematian jabatan, seperti yang dicemaskan oleh Cica. Masa baktinya di sekolah tinggal satu semester lagi, tetapi kalau sudah terjadi hal seperti ini, Arlen menyangsikan bisa bertahan sampai akhir.
Di lain sisi, Arlen juga merasa sangat bersalah pada Ferdi. Tidak seharusnya dia mengatakan hal itu, apalagi saat menghadap Pak Bahar tadi, Arlen diberi sebuah petunjuk tentang kondisi Ferdi sebenarnya. Kondisi yang masih sangat tidak Arlen pahami.
“Ketua OSIS tapi lambenya nggak disaring.” Salah seorang siswa yang berpapasan dengan Arlen di dekat tangga kelas, menatap dengan jengkel.
Namanya Dita, rival Arlen saat pemilihan ketua OSIS lalu. Sejak pengumuman terpilihnya Arlen sebagai ketua OSIS, Dita memang selalu mencari ribut dengannya. Arlen merasa kalau Dita masih tidak terima atas kekalahannya.
Arlen menarik napas sampai merasa tenang, lalu membuang perlahan. “Gue emang salah,” ujar Arlen, kemudian berlalu meninggalkan Dita yang masih menatapnya penuh intimidasi. Arlen berharap esok pagi suasana sekolah kembali normal tanpa ada pembahasan tentang Ferdi lagi.
Sampai di ujung tangga, Arlen mendapati kakak kelas yang sempat beradu mulut dengan Ferdi pagi tadi tengah menatap ke arahnya dari sisi lapangan basket. Cowok yang mengenakan seragam olahraga itu memiliki postur tubuh ideal, lumayan tampan, dan sedikit mirip dengan Ferdi. Hanya saja kulitnya lebih kuning langsat.
Tak mau kembali melakukan hal yang salah, Arlen langsung berjalan ke arah gerbang. Kepalanya mendadak berdenyut-denyut menerima cukup banyak ucapan yang terlontar dari seisi sekolah. Arlen tidak mengira kalau hari ini nasibnya akan sial.
“Eh, hei!” seru seseorang ketika Arlen hendak menstarter motor hitam miliknya. Arlen menoleh ke arah sumber suara, rupanya suara itu berasal dari kakak kelas yang tadi ketahuan mengamati Arlen dari sisi lapangan.
“Iya, lo. Tunggu bentar!” serunya lagi dengan nada bicara memerintah. Tubuhnya yang semula berada di mulut gerbang pun berpindah cepat mengikuti arah langkahnya.
“Lo Arlen ketua OSIS, kan? Yang tadi bikin pengumuman lewat speaker?” Tadinya Arlen tak mau berlama-lama di sekolah, tetapi pertanyaan kakak kelas yang memiliki tatapan mematikan itu berhasil meruntuhkan kemauan Arlen untuk pulang lebih cepat.
“Iya, Kak. Memangnya ada apa, ya? Maaf kalo pengumuman tadi bikin nggak nyaman.” Arlen berbicara sedikit ragu, apalagi jarak mereka hanya sekitar dua langkah.
“Kok jadi minta maaf? Ini belum lebaran.”
“A-ah, iya. Terus ada apa ya, Kak?” tanya Arlen, menggigit bibir bawahnya. Dia khawatir akan mendapatkan masalah baru lagi.
“Enggak apa-apa, kok. Gue cuma mau bilang makasih karena lo udah bikin pernyataan soal Ferdi tadi. Gue harap ke depannya lo nggak gegabah lagi berurusan sama dia, ya.” Sebuah pernyataan berhasil membanting perasaan Arlen hingga terperenyak. Apakah Ferdi semenyeramkan itu? Apakah ini petunjuk selanjutnya agar Arlen benar-benar tahu siapa Ferdi sebenarnya?
“Ma-maksudnya gimana, Kak? Oh ya, kalo boleh tau, Kakak kok tadi pagi ribut sama Ferdi, ya? Tadi aku nggak sengaja lihat kalian lagi–”
“Oh, itu. Biasa, ribut anak cowok aja.” Kakak kelas yang tidak Arlen ketahui namanya itu menyunggingkan senyum. “Makasih juga karena tadi lo udah bersedia anter Ferdi ke UKS. Yah, meskipun ujungnya dia cabut lagi,” kekehnya, semakin membuat Arlen tidak mengerti.
“Lho, kok Kakak tau kalo Ferdi cabut?” selidik Arlen, menatap intens.
“Bukan hal aneh, sih. Tapi sebenernya Ferdi enggak semenakutkan yang lo dan anak-anak pikirkan. Tapi dia juga nggak–”
“Nggak apa, Kak? Emangnya Ferdi kenapa?”
“Ah, lupakan! Lo mau pulang, kan? Hati-hati, ya.” Tak peduli bagaimana reaksi Arlen, sosok itu berlalu ke lapangan basket tanpa terlihat menyesal karena telah membuat seorang Arlen bingung setengah mati.
***
Sekeras apa pun Arlen berusaha melupakan kejadian yang dialaminya seharian tadi, dia tetap tak bisa berbuat apa-apa. Pukul setengah sebelas malam, matanya masih tak menunjukkan kantuk sama sekali, padahal besok ada ulangan Bahasa Jepang. Salah satu pelajaran favorit Arlen di kelas jurusannya saat ini. Pilihannya yang terjatuh pada kelas Bahasa sempat membuat mama Arlen tidak setuju. Kemauan sang mama, Arlen memilih jurusan IPA yang memang menjadi jurusan favorit di tingkat SMA. Selain mama Arlen, bagian Bimbingan dan Konseling pun kerap menganjurkan agar dirinya masuk IPA saja ketimbang Bahasa.
Bukan Arlen namanya jika bisa dibujuk semudah itu. Sebanyak apa pun penolakan yang ditunjukkan mamanya, Arlen tetap mantap melangkah memilih kelas Bahasa. Syukurnya, semakin berjalannya waktu sang mama mulai menerima pilihan Arlen. Beberapa teman Arlen saat kelas X pun hanya satu orang yang memilih jurusan ini, yaitu Cica. Sebagian besar dari mereka memilih jurusan IPA, tetapi tak sedikit pula yang mendarat di IPS.
Arlen
Ca, lo udah tidur? Gue belum bisa tidur, nih.
Cewek yang bergelung di bawah selimut itu mengirimkan chat pada Cica, berharap dengan berkirim pesan bisa membuat matanya mengantuk hingga kejatuhan handphone seperti biasa.
Cica