Sehari setelah kematian Gustam, Arlen masih tak bisa menenangkan diri. Sejak tadi, dia terus-menerus menatap ke pintu ruang OSIS, berharap ada seseorang yang mencarinya dan memberi tahu keadaan Ferdi saat ini. Kemarin saat rombongan warga yang membantu Ferdi bubar, Arlen menangis sendirian di tempat itu. Niatannya untuk membeli minum pun kandas dalam sekejap, terlebih dari awal dia hanya ingin menghindari pertanyaan-pertanyaan dari Cica.
Berkali-kali Arlen ditegur oleh Adi karena tak pernah konsentrasi sepanjang rapat. Dia juga disindir oleh Dita, mantan rival yang sekarang menjabat sebagai humas OSIS di bawah kepemimpinan Arlen. Gadis ini benar-benar merasa gila, lantaran terus memikirkan kejadian itu. Tangan penuh luka, bahkan hingga tak sadarkan diri. Apa yang sebenarnya terjadi pada Ferdi?
“Kalo ketua OSIS-nya aja nggak fokus gitu, mending udah aja deh, rapatnya. Males gue. Kayak yang nggak niat!” celetuk Dita, membuat Arlen langsung menatap padanya.
“Lagian gue heran sama lo, Len. Kalo emang udah nggak sanggup jadi ketua OSIS, kenapa nggak ngundurin diri aja, sih? Gue perhatiin, seminggu ini kinerja lo monoton.”
Spontan Cica memelotot pada Dita. “Lo kalo ngomong yang sopan dong, Dit! Apa maksudnya nyuruh-nyuruh Arlen ngundurin diri? Lo masih nggak terima sama kekalahan lo waktu itu?” Tak kalah pedasnya, Cica menyeringai menatap Dita yang duduk bersampingan dengan Adi.
“Udah, udah, woy!” Arlen memegang kepala dan kembali berkata, “Gue minta maaf kalo akhir-akhir ini kinerja gue monoton. Gue lagi kurang enak badan aja. Soalnya kemarin pulang dari rumah Gustam, gue kehujanan.”
“Lo nggak enak badan atau kepikiran si Ferdi? Lagian, kok aneh, semenjak insiden salah tuduh itu, lo jadi kayak orang bego!” Lagi-lagi Dita berkata seenaknya. Selama ini Dita selalu memperhatikan gerak-gerik Arlen, bahkan hal sekecil apa pun.
“Bisa nggak sih, orang kayak dia disuruh keluar aja? Mumet nih gue, denger dia nyerocos terus.” Cica menatap tidak suka pada Dita, tetapi yang ditatap hanya tak acuh sambil bermain handphone.
“Terus lo kemarin ke mana, Dit? Yang lain pada ikut melayat, lo malah nggak masuk. Sakit, lo? Kayak manusia aja,” lanjut Cica, masih sangat kesal.
“Gue ada keperluan. Kepo banget hidup lo, Ca!”
“Dih, siapa juga yang kepo? Gue kan cuma nanya!”
“Udah, udah. Kenapa jadi pada ribut gini, sih?” Adi menyela, berusaha menengahi perdebatan antara Cica dan Dita.
“Nah, kalo lo ke mana, Di? Kok gue curiga sama kalian, ya!” Pandangan Cica tertuju pada Adi sepenuhnya.
“Kemarin gue–”
“Di, tolong lanjutin, ya. Gue minta maaf karena udah bikin rapat kita kacau begini.” Arlen yang tak mau menambah keributan di ruang OSIS pun bangkit dari kursi dan bergegas keluar tanpa sempat merespons cegahan dari Cica.
“Len! Lo ya–” Ucapan Adi terpotong saat menyadari Arlen sudah hilang di balik pintu. “Ya udah, rapatnya biar gue yang pimpin. Sampai mana tadi?”
Satu tahun kepengurusan OSIS yang dipimpinnya, baru sekarang Arlen merasa gagal menjadi seorang ketua. Dia tidak bisa menahan rasa penasaran yang terus membuncah dalam hatinya tentang Ferdi. Arlen hanya ingin tahu apa yang sebenarnya sedang Ferdi alami dan mengapa Putra mengatakan kalau Ferdi belum bisa bertemu banyak orang. Mengingat nama Putra, Arlen membulatkan mata. Surat!
Buru-buru Arlen merogoh tasnya untuk mencari surat yang belum sempat diberikan pada wali kelas mereka. Sejak kemarin, dia memang tak banyak waktu di sekolah dan hanya kebagian masuk kelas pada jam terakhir. Begitu pula hari ini, dia sangat sibuk menyiapkan rapat OSIS yang tertunda karena kemarin banyak anggotanya yang tidak masuk sekolah.
“Ketemu! Gue harus cari Bu Sekar. Semoga aja beliau belum pulang,” ucap Arlen, langsung berlari sepanjang koridor sekolah hingga ke ruang guru. “Yah, udah ditutup. Kayaknya guru udah pada pulang. Gimana, dong? Tadinya gue mau sekalian tanya si Ferdi sakit apaan.”
Arlen menggembungkan pipi sambil memasukkan surat itu ke tasnya. Tidak ada pilihan selain bergegas pulang dan menenangkan pikiran dengan mandi di bawah guyuran shower. Apa pun yang menjadi pertanyaan hari ini, Arlen berharap bisa menemukan jawabannya esok hari.
***
Ruangan luas dengan kasur berukuran sedang menjadi pelampiasan Arlen saat sampai di kamar. Dia melemparkan tasnya ke sembarang arah, lantas menjatuhkan diri di tempat tidur. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, bahkan langit di luar sana semakin gelap. Sebetulnya, pulang siang atau sore sekalipun tidak begitu berpengaruh pada kehidupan Arlen di rumah. Dia akan tetap menghabiskan waktunya di dalam kamar dari sore hingga pagi, kemudian menghirup oksigen sekolah dari pagi sampai sore. Begitu selalu aktivitasnya setiap hari.
Arlen tidak terlahir dari keluarga yang kekurangan. Apa pun yang diinginkan pasti akan didapatkan dengan sekali rengekan pada mamanya. Namun, semua itu tak pernah dilakukan lagi sejak papanya meninggal dunia. Arlen kembali mengingat tangisan kehilangan yang lolos dari bibir nenek Gustam kemarin, persis dengan tangisannya saat kehilangan sang papa.
Terkadang Arlen berpikir jika hidup tak melulu sesuai dengan harapannya. Ketika dia bersemangat menjadi siswa berprestasi di sekolah seperti harapan papanya, dia malah harus merelakan Tuhan mengambil sosok pria paruh baya itu dari hidupnya. Arlen sempat membenci kehidupannya yang tak lagi sempurna; mamanya jadi lebih banyak di rumah sakit dan Arlen sendirian di rumah peninggalan papanya.
Pembantu? Ada. Namun, hanya sebatas dari pagi sampai siang. Arlen memang meminta mamanya memberhentikan pembantu yang tinggal di rumah mereka dengan harapan wanita itu akan lebih banyak menyisihkan waktu untuk mengurusnya. Akan tetapi, harapan Arlen tak pernah berkembang sampai detik ini. Dia tetaplah seorang ketua OSIS yang dikelilingi para anggota, tetapi saat di luar sekolah berubah menjadi gadis kesepian yang sering mempertanyakan tentang nasibnya pada Tuhan.
Suara bel memecah konsentrasi Arlen dari lamunan. Dia menoleh ke arah jam, ternyata sudah lima belas menit dirinya melamun sambil menatap langit-langit kamar. Menyadari ada orang yang menekan bel berulang kali, Arlen yang masih mengenakan seragam itu beranjak dari tempat tidur. Sejenak dia merapikan kuciran rambut yang terlihat berantakan, lalu berjalan keluar kamar. Niatnya untuk mandi akan ditunda sampai seseorang yang datang itu meninggalkan rumahnya.