“Fer, mau sampai kapan lo nyiksa diri kayak gini? Apa lo nggak kasian sama tubuh lo sendiri?”
Arlen menghentikan langkah beberapa meter dari mulut pintu ruang perawatan. Di sampingnya, Dimas mendesah kasar dengan tatapan sedikit pilu. Tadi saat mengajak Arlen, Dimas memang membawa gadis itu ke rumah sakit tempat Ferdi dirawat. Sepanjang perjalanan, Dimas hanya mengatakan jika saat ini kondisi Ferdi sangat menyedihkan dan nyaris saja kehilangan nyawa karena ulahnya sendiri. Selebihnya, Arlen tak mendapatkan informasi apa-apa lagi selain membiarkan laki-laki itu menuntunnya ke tempat ini.
“Fer, gue emang bukan kakak yang baik buat lo. Tapi gue juga bukan kakak kurang ajar yang bakalan biarin lo tersiksa sendirian.” Sekali lagi suara parau Putra mendarat di telinga Arlen.
“Ka-kakak?” ulang Arlen, meminta kebenaran pada Dimas dengan menatap cowok di sebelahnya.
“Iya. Putra sama Ferdi itu adik kakak. Tapi hubungan persodaraan mereka hancur karena kejadian dua tahun lalu.”
“Kejadian apa?” tanya Arlen lagi, masih tak mengubah raut penasarannya.
“Kejadian besar yang bikin Ferdi selalu merasa kalo dia pembunuh.” Dimas menunduk, menatap lantai tempatnya berpijak saat ini. “Sana lo masuk. Gue di sini aja,” lanjutnya, sedikit mendorong pintu dan tubuh Arlen agar masuk.
Arlen yang tak siap pun sedikit terdorong ke dalam hingga menarik perhatian Putra. Cowok itu tengah terduduk di samping seorang pemuda tak berdaya. Ada slang infus dan slang darah yang terpasang di tubuhnya, terlihat begitu memprihatinkan.
“Ferdi kenapa, Kak? Apa dia baik-baik aja?” Walau harus mati-matian menahan mata yang terasa mulai memanas, Arlen tetap ingin mengetahui keadaan Ferdi yang sebenarnya.
“Ferdi ....” Ada gurat keraguan yang terlihat dari wajah Putra. Cowok itu mencengkeram ujung seprai berwarna putih seraya memejamkan mata. “Ferdi menderita karena gue.”
Hati Arlen tersentak. Bagaimana bisa Ferdi menderita karena Putra? Dari luarnya, Arlen bisa melihat kalau Putra sosok yang lemah lembut dan perhatian.
“Lo ke sini sama siapa, Len? Sini, duduk.” Putra bangkit dari kursi yang sejak tadi didudukinya. Cowok itu mendekatkan kursi pada Arlen sebagai isyarat agar gadis di hadapannya duduk.
“Sa-sama Kak Dimas.” Entah kenapa, Arlen benar-benar dibuat gugup saat sudah berjarak cukup dekat dengan Ferdi. Cowok yang sempat menjadi penyebab kegelisahannya akhir-akhir ini terlihat tak sadarkan diri.
“Tenang, Ferdi baik-baik aja. Dia cuma butuh lo, Len.” Putra sedikit menyunggingkan senyum hingga gadis di hadapannya menoleh penuh tanya.
“Iya, dia butuh lo,” ujar Putra sekali lagi, semakin menambah kebingungan di hati Arlen.
“Kenapa? Apa hubungannya?” Urutan pertanyaan ini lolos dengan suara sedikit bergetar. Kalau saja Arlen tidak ingat sedang bersama Putra, mungkin dia akan menangis sambil meminta maaf pada Ferdi karena sudah melakukan kesalahan. Untunglah gengsi Arlen cukup tinggi sehingga dia tidak akan menangis di hadapan Putra yang masih menatapnya penuh arti.
“Suatu hari nanti, lo pasti tau alasannya. Intinya, selama ini lo yang jadi alasan kenapa Ferdi bisa bertahan. Ya, tentunya selain Gustam.” Lagi-lagi ucapan Putra membuat kepala Arlen seperti sedang dipalang oleh benteng besar. Susah dimengerti!
“Gustam?” ulang Arlen, masih dengan posisi menatap Putra yang kini berdiri di sampingnya sambil menggenggam kaki Ferdi.