“Heh! Nunduk mulu, lo! Nyari duit jatoh?” Suara yang sudah akrab di telinga Arlen ini membuatnya mendongak. Cowok yang kemarin masih tak berdaya di brankar itu berdiri dengan tatapan menyebalkan.
“Kok dia udah berdiri di situ aja? Harusnya kan dia masih di rumah sakit.” Arlen membuang muka sebal sambil menggembungkan pipinya.
“Heh, gue ngomong sama lo.” Ferdi menarik tas belakang Arlen saat cewek itu berlalu begitu saja melewatinya di gerbang sekolah.
“Ih, lepasin! Ngapain sih, masih pagi udah nyari masalah sama gue? Harusnya lo masih di rumah sakit, pengobatan. Siapa tau aja sifat nyebelin lo ikutan sembuh,” sahut Arlen menatap garang dengan perasaan kesal. Berdebat dengan Ferdi saat pagi hari adalah suatu pertanda yang sangat buruk.
Ferdi mendelik. “Lo nyumpahin gue lama-lama di rumah sakit?” tanyanya, mendekatkan wajah hingga berjarak hanya sejengkal dari wajah Arlen. “Itu, ada belek di mata lo.”
Bug!
Satu pukulan keras melayang mengenai lengan Ferdi. “Nyebelin banget sih lo, Fer! Lepasin, lepasin, lepasin!” Arlen mengentakkan kaki karena bagian belakang tasnya masih dicengkeram Ferdi.
“Ferdi? Ya ampun! Akhirnya lo nongol lagi di sekolah.” Cica yang baru saja sampai sangat terkejut melihat keberadaan Ferdi. Pagi tadi dia memang dihubungi oleh Arlen karena tak bisa berangkat bersama. Alhasil, Cica membawa motor sendiri setelah berhasil membujuk ibunya.
Menyadari keberadaan Cica, Ferdi langsung melepaskan cengkeramannya dari tas Arlen, kemudian bergegas masuk gerbang tanpa berkata apa-apa lagi.
“Lah, gue dicuekin. Dasar manusia tak kasatmata,” omel Cica, berjalan mendekat ke arah Arlen yang masih sibuk merapikan penampilannya.
“Udah, yuk! Biarin aja dia begitu. Mungkin dari zigot udah ditakdirkan jadi orang nyebelin.” Arlen menggamit tangan Cica masuk ke gerbang, membiarkan cowok yang berjarak cukup jauh di depan mereka berjalan lebih dulu ke ruang kelas. Arlen menangkap sinyal bahwa hari ini hidupnya akan semakin buruk lagi.
***
Waktu berjalan terasa sangat lambat. Arlen memilih duduk di pinggir lapang sambil mengamati keseruan teman-temannya bertanding basket. Kelas Arlen memang sedang pelajaran Olahraga dan Arlen sudah selesai tes lebih dulu bersama Cica yang saat ini sedang ke kantin untuk membeli minum. Selama menunggu Cica, Arlen kembali teringat pada obrolannya dengan sang mama.
“Nih, Len.” Cica menyodorkan sebotol air mineral dingin, kemudian duduk di samping Arlen. “Tadi gue ketemu Ferdi di kantin. Dia nanyain lo,” lanjut Cica sambil membuka tutup botol minuman miliknya.
Arlen mengernyitkan dahi. “Nanyain gue? Apa katanya?”
Sebelum menjawab, Cica terlebih dulu menghabiskan minumannya dan menutup kembali botol tadi. Kali ini tatapannya lurus pada anak-anak yang semakin seru bertanding basket. “Nggak bilang apa-apa, sih. Dia cuma nanyain lo aja.”
Sebuah tarikan napas panjang lolos dari mulut Arlen. Sejak pagi tadi di gerbang, tingkah Ferdi memang aneh. Dia yang biasanya berbicara saat hal penting saja, kini malah jadi banyak bicara. Anehnya lagi, Ferdi seperti sengaja membuat Arlen kesal dan bersikap sangat menyebalkan.