Sudah setengah jam berlalu sejak obrolan terakhirnya dengan Cica, Arlen masih belum bisa tidur. Dia menatap cokelat dan secarik memo yang diberikan oleh Putra siang tadi. Beberapa kali Arlen mencoba memahami kata-kata yang tertulis di sana, walau berujung kembali menyerah. Memecahkan sandi morse memang bukan bagian dari kecerdasan Arlen. Dia malah heran mengapa orang seperti Putra bisa menuliskan memo sekonyol itu dengan menggunakan sandi morse segala.
“Anehnya ternyata sama kayak Ferdi.” Arlen berdecak, lantas menyibak selimut yang menutupinya. Dia akan ke dapur untuk mengamankan cokelat yang sudah mencair karena kepanasan.
Perlahan Arlen keluar kamar tanpa ingin mengganggu Cica yang sudah sangat nyenyak. Selepas makan bersama di pecel lele Mas Ben, Arlen meminta Cica untuk menginap di rumahnya. Entah mengapa, akhir-akhir ini Arlen selalu ingin ditemani saat tidur.
Tepat setelah berhasil menaruh cokelat di kulkas, Arlen mendengar suara seseorang dari halaman depan. Matanya membulat dengan napas tertahan, mewanti-wanti barangkali ada maling yang hendak menyatroni rumahnya. Sebuah payung yang ditaruh di dekat pintu dapur pun diraihnya sebagai alat pertahanan diri. Arlen memejamkan mata untuk mengumpulkan keberanian, kalau-kalau maling di luar sana berjumlah lebih dari satu orang. Dia juga sudah menyiapkan rencana akan berteriak sekeras mungkin agar para tetangga terbangun.
Langkah Arlen yang mengendap-endap, semakin membuat alur pernapasannya terasa lebih berat. Gadis itu membuka kunci pintu depan dengan sangat hati-hati dan bersiap melayangkan payung. Saat pintu berhasil dibuka, teriakan Arlen benar-benar lolos hingga membuat mamanya dan Cica terbangun.
***
Bu Vina begitu telaten mengobati luka-luka yang ada di tubuh Ferdi. Rupanya suara yang Arlen dengar tadi berasal dari Ferdi, si menyebalkan itu. Arlen berteriak karena terkejut melihat Ferdi babak belur. Cowok itu tampak menyedihkan dengan hidung yang sedikit mengeluarkan darah.
“Sudah selesai.” Bu Vina memecah keheningan di antara mereka. “Untung lukanya nggak terlalu parah. Tapi besok kamu tetap harus ke rumah sakit untuk memastikan, ya.” Sebagai seorang dokter, tentu Bu Vina sangat mengerti hal-hal seperti ini. Tadi saat menghampiri Arlen di ruang depan, wanita paruh baya ini tak kalah terkejutnya melihat kondisi Ferdi.
“Makasih banyak, Tante ....”
“Vina,” sambut mama Arlen sembari tersenyum.
Ferdi menggaruk tengkuknya canggung. “Makasih banyak, Tante Vina,” ulangnya lagi, kali ini dengan melirik Arlen. Gadis yang sejak tadi hanya diam itu melempar pandangan ke arah lain agar tatapan mereka tidak bertemu.
“Sama-sama. Besok pagi, ke rumah sakit bareng Tante, ya. Biar nanti Arlen yang temenin.” Pernyataan mamanya ini membuat Arlen membulatkan pandangan.
“Kok Arlen, Ma? Biar dia pergi sendiri aja.” Arlen berdecak, kemudian beranjak menuju kamar seraya menarik Cica yang terkantuk-kantuk di sofa.
“Aduh, pelan-pelan dong, Len,” protes Cica karena kenikmatan tidurnya kandas.
“Arlen,” panggil wanita paruh baya itu, tetapi tak berhasil menghentikan langkah Arlen.
“Maafkan sikap Arlen, ya. Nama kamu siapa? Tante belum pernah lihat kamu sebelumnya. Teman sekelas Arlen?”
“Saya Ferdi, teman sekelas Arlen sama Cica, Tante. Saya memang nggak terlalu akrab sama anak Tante.” Ada senyum hambar yang tercipta dari bibir Ferdi. Dia sadar diri jika selama satu kelas dengan Arlen, dirinya tak begitu dekat dengan gadis itu. Bukan hanya Arlen, melainkan memang tak ada seorang pun yang bisa menjadi temannya, kecuali Gustam.
“Oh, begitu. Ya sudah, istirahat dulu, yuk.” Baru saja hendak mengantar ke kamar tamu, Bu Vina menatap bingung pada Ferdi yang malah mengambil jaket dari sandaran kursi. “Lho, mau ke mana?”
“Saya mau pulang, Tante. Kayaknya orang-orang itu udah pergi. Makasih udah bantu ngobatin saya.” Ferdi sedikit membungkuk sebagai tanda penghormatan dan ucapan terima kasih. “Tolong sampaikan makasih juga buat Arlen, Tante.”
Bu Vina menggeleng tegas. “Ini udah tengah malam. Bahaya kalo pulang sendirian. Tidur dulu di sini, ya. Besok kita ke rumah sakit buat periksa lukanya.”
Ferdi terharu karena orang asing seperti Bu Vina begitu perhatian padanya. Selama dua tahun ini, Ferdi memang kehilangan perhatian dari sosok ibu, bahkan pernah berpikir jika hidup yang dijalaninya hanyalah omong kosong.
“Makasih banyak, Tante. Saya bisa pulang naik ojek online. Assalamualaikum.” Ferdi bergegas meninggalkan rumah itu. Dia tak ingin mengganggu jam istirahat orang-orang di sana, terlebih lagi Arlen. Sudah dibantu dan diobati saja rasanya Ferdi bersyukur. Namun, satu hal yang membuatnya tak mengerti, mengapa ketika dikejar orang-orang mabuk, takdir seakan menuntun langkahnya menuju rumah Arlen?
***